Allahu Akbar

Anda tahu bahwa judul posting ini adalah frase takbir yang dipakai saudara-saudari muslim dalam menegakkan salat [bukan sekadar menjalankan ritual salat]. Anda juga tahu bahwa mengucapkan takbir untuk melakukan tindak ketidakadilan (tambah lagi kekerasan) dengan sendirinya menodai kemuliaan takbir itu. Takbir sendiri konon berarti to magnify alias memperbesar, dan itulah mengapa saya pakai sebagai judul posting ini.

Teks bacaan hari ini menyodorkan takbir juga: kidung magnificat (baca: manyifikat, seperti kalau Anda mendapati nama Magnis-Suseno, bacanya manyis-suseno, alih-alih maknis atau maknyis, apalagi maknyus). Ini adalah kidung yang oleh penulis Lukas dilekatkan pada mulut Bunda Maria. Magnificāre dalam bahasa Latin memperjelas maksud to magnify tadi: bukan hendak menggelembungkan Allah, melainkan memperbesar pujian manusia kepada Allah. Ini juga bukan perkara melontarkan kata-kata bombastis, melainkan soal mode of being.

Kemarin, dalam hitungan beberapa jam, saya kehilangan dua sohib. Yang satu bisa saya mengerti karena sudah agak lama bergumul dengan virus covid-19 yang bersekongkol dengan diabetesnya. Semampu saya dulu saya mendukungnya untuk keperluan sekolahnya menjadi dalang; dan melihat kebahagiaannya menjalani panggilan sudah cukuplah saya terima sebagai reward, kalau itu bisa dianggap begitu. Refren yang saya dengar dari obrolan dengannya beberapa tahun lalu kurang lebih senada: jalani hidup sekuatnya, kalau gak kuat ya biar dijalani Tuhan. Ini contoh mode of being.

Yang satu lebih mengejutkan karena terjadi akibat serangan jantung, dan sohib serumahnya bertanya-tanya bagaimana mungkin orang yang sekokoh ini bisa roboh. Dia rutin berenang, dan beberapa tahun lalu saya pernah berenang dengannya dan saya dibuat terheran-heran. Dia berenang di dasar kolam. Berenang di permukaan terlalu mainstream baginya. Padahal, dari ujung kolam yang satu ke ujung lainnya dibutuhkan lebih dari satu menit. Saya menahan nafas tanpa berenang saja cuma kuat beberapa puluh detik. Orang ini bolak-balik ke sana kemari cuma dengan beberapa kali tarik nafas!

Menariknya, sehari sebelum serangan jantung, dia menyodorkan tiga poin refleksi rohani kepada tantenya: (1) dia ‘hanya’ alat Tuhan, yang senantiasa dikangeninya, dan kangen itu sudah cukup sebagai perjuangannya, (2) tak ada kesempurnaan untuk berjumpa dengan-Nya dalam situasi yang niscaya situasional, terbatas, dan (3) tegangan dua kutub paradoksal senantiasa merupakan jalan peziarah yang kangen kepada Tuhan. Esok harinya, dia mencecapi kesempurnaan kangennya pada Tuhan. Ini juga adalah contoh mode of being, terlepas dari aneka doing yang dipilihnya.
Requiescant in pace.

Tuhan, mohon rahmat kekuatan supaya hidup kami sungguh merupakan pujian atas kebesaran cinta-Mu. Amin.


HARI KHUSUS ADVEN
Hari Ibu
Selasa, 22 Desember 2020

1Sam 1,24-28
Luk 1,46-56

Posting 2018: Tebus Murah
Posting 2017: Nobody Loves Me

Posting 2016: Tan Telolet Tan

Posting 2015: Mahmud Bergiranglah

Posting
2014: Joged karena Bayi Tabung?

1 reply

  1. Belajar atau menjd murid dari seorg dosen yg adh jg seorg imam (katolik), tdk ada kekhawatiran atau kecemasan. Mereka mempunyai etika partisipatif, atau mnrt istilah seorg temanku, adil sejak dlm pikiran. Shg kt diajak belajar meniru perilaku teladan moral yg positif, sekaligus mengembangkan watak thd perilaku moral – kebaikan – dlm diri sendiri melalui pengajaran n pembiasaan. Terimakasih banyak, rm. Jaga kesehatan. Tetap semangat
    RIP Rm Herry

    Like