Teks bacaan hari ini bisa bikin kèděr orang yang berpretensi hendak mengkritik orang lain. Memang tak semenohok teks Mat 7:4-5 (Gimana mungkin kamu mau mengeluarkan selumbar di mataku sementara matamu sendiri terhalang balok?). Di sini hanya dikatakan,“Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu!” Secara sepintas ini seperti menyiratkan kemungkinan penilaian Anda jadi bumerang karena Anda bisa dinilai balik dengan kata-kata Anda sendiri. Mengerikan, bukan?
Ada gambaran yang mungkin lebih menentramkan. Secara psikis, kalau Anda memberi nasihat kepada orang lain, sebetulnya Anda juga menasihati diri Anda sendiri. Jadi, tak perlu merasa sempurna dulu untuk memberi nasihat kepada orang lain.
Guru dari Nazareth cuma memberi peringatan supaya orang waspada terhadap ukuran yang dipakainya. Saya tak mengerti maksud ukuran di sini. Mestinya ini adalah alat pengukur atau penimbang sesuatu. Dengan kata lain, dalam ilmu tafsir, ini adalah prapemahaman, prasangka, atau asumsi yang dipakai orang untuk mengatakan baik-buruk, benar-salah, cukup-kurang, adil-timpang, dan seterusnya.
Problemnya kerap kali tidak terletak pada penilaiannya sendiri, tetapi pada asumsi penilaiannya. Contoh cerita Anthony de Mello tentang nasib untung-malang mungkin memudahkan pengertiannya. Di sebuah desa, ada seorang petani tua yang punya seekor kuda yang setia membantunya mengolah ladang. Pada suatu hari kuda itu lepas, menghilang. Sang petani tak bisa menggarap ladangnya. Ketika para tetangganya berdatangan untuk menghibur petani itu, tanggapan yang mereka peroleh,“Nasib untung, nasib malang, siapa tahu?”
Ndelalahnya, seminggu kemudian kudanya kembali ke rumah, malah membawa beberapa kuda liar. Para tetangga kembali mengunjunginya untuk memberi selamat atas keberuntungan petani karena kudanya bertambah banyak. Jawabnya,“Nasib untung, nasib malang, siapa tahu?” Nah, terjadi kecelakaan, ketika anak si petani mencoba menjinakkan salah satu dari kuda liar itu, ia terjatuh dan kakinya patah; harus beristirahat untuk waktu lama. Tetangganya berdatangan mengucapkan rasa prihatin mereka atas nasib petani dan tanggapannya sama,“Nasib untung, nasib malang, siapa tahu?”
Beberapa hari kemudian, tentara kerajaan menangkap semua pemuda desa yang sehat untuk wajib militer. Nasib untung, nasib malang, siapa tahu?
Label untung-malang menjadi sangat relatif terhadap asumsi perhitungan ekonomi, tetapi kehidupan ini mengatasi kalkulasi ekonomi. Kalau orang tak aware akan hal ini, ia bahkan bisa mereduksi orang lainnya sebagai alat atau objek kalkulasi ekonomis, alih-alih sebagai pribadi. Begitu bisa terjadi pada agama, suku, golongan atau ras; diperalat untuk perolehan kekuasaan atau dominasi.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya cara pandang kami sungguh sesuai dengan cara-Mu melihat kenyataan ciptaan-Mu. Amin.
KAMIS BIASA III B/1
PW S. Tomas Aquino
28 Januari 2021
Posting 2019: Mari Bersih-bersih
Posting 2017: Bangsa Baper
Posting 2015: Ayo Berlagak Jadi Presiden
Categories: Daily Reflection