Iman Kok Konsumtif

Beriman itu bagaikan orang menabur, bukan orang makan bubur. Yang pertama menyebarkan benih produk. Yang kedua mengonsumsi produk benih. Celakanya, orang beragama kerap membolak-balik hal ini. Maksudnya beriman, jebulnya konsumtif doang ujung-ujungnya. Karena targetnya konsumtif, tak mengherankan, teknologi diterapkan supaya hasilnya lebih cepat, lebih besar, lebih banyak. Di situ ada harapan, tetapi harapan yang kehilangan kesabaran dan pengakuan hidup sebagai misteri yang tak bisa sepenuhnya dipecahkan semata dengan rasionalitas manusia.

Sampai pada batas tertentu teknologi bisa memberi necessary conditions, tetapi tak pernah jadi sufficient conditions untuk hidup beriman. Teknik pidato, public speaking, komunikasi digital, laser, panggung mewah, sound system megah, presentasi ciamik, semuanya bisa menarik orang untuk menyimak. Akan tetapi, seperti orang makan bubur tadi, buburnya bisa dimodifikasi bagaimana pun supaya cocok dengan selera kekinian; tetapi ujung-ujungnya ya masuk perut dan berakhir ke jamban (meskipun kelak bisa didaur ulang juga sih).

Beriman adalah perkara meneruskan Sabda Allah, entah dengan kata atau tindakan. Kalau kata dan tindakan itu memang berasal dari Allah, selemah, sekuno, sekaku, segaring, sewagu, sekabur apa pun, akan mengendap dalam hati orang dan memproduksi sesuatu tanpa orang mengerti secara utuh kapan dan bagaimana Sabda Allah tadi berproses dalam jiwa orang tadi. Baru kalau orang merefleksikannya, mungkin ia mengerti bagaimana Allah mendidiknya.

Saya punya teman seangkatan tetapi umurnya terpaut agak jauh dari saya. Saya lebih muda.🤭 Ketika bersama-sama dalam pendidikan, sebetulnya saya mengaguminya tetapi memang kekaguman itu tidak saya tampakkan. Meskipun demikian, kadang kala saya menyampaikan terima kasih saya atas refleksi atau nasihat yang disampaikannya kepada kami yang muda-muda ini. Saya tak pernah merasa jengkel ketika dia selalu menanggapi terima kasih saya itu dengan pertanyaan,”Yang mana ya? Apa sih?”

Saya tidak yakin bahwa teman saya ini punya penyakit demensia, amnesia, atau alzheimer; mungkin sebetulnya dia ingat juga hal yang saya maksud dan bisa jadi tanggapannya itu hanya untuk mengatakan “Don’t mention it!” Mungkin seperti itulah beriman: meneruskan kebaikan alias cinta Allah dan tak menggenggam atau mengonsumsi kemuliaan Allah itu bagi kemuliaannya sendiri.

Beriman berarti mengupayakan penyebaran kebaikan dengan harapan dan kesabaran tanpa tendensi untuk mendominasi atau mengontrol atau mengambil alih proses yang sesungguhnya dikerjakan Allah sendiri. Ini mestinya lebih melegakan orang beragama; bahwa pada kenyataannya sebagian orang beragama malah tak tenang, kurang sumèlèh, itu lain perkaranya.

Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian untuk menaruh kepercayaan pada penyelenggaraan-Mu. Amin. 


JUMAT BIASA III B/1
29 Januari 2021

Ibr 10,32-39
Mrk 4,26-34

Posting 2019: Sayembara Agama
Posting 2017: Tikus Agama dan Bangsa

Posting 2015: Bedanya Burjo dan Bojo