Iman Mangkrak

Ini kalimat aneh yang disodorkan Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini: Jika orang datang kepadaku dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudarinya, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku. Siapa saja yang tak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi muridku.

Kalimat aneh itu bisa jadi tidak aneh lagi kalau kita mengerti konteksnya. Konteks itu ditunjukkan juga dalam bentuk dua metafora. Poinnya jelas: orang perlu pikir sebaik-baiknya sebelum mengambil keputusan [penting]. Pertama, kalau orang mau mendirikan bangunan secara bertanggung jawab, ia perlu memperhitungkan anggaran dong, bukan cuma pasang pasak dan kemudian membiarkannya mangkrak atau mencari koin di jalan-jalan demi menambah kusen, atap, genteng, dan seterusnya. Kedua, orang berperang itu jelas menghitung-hitung kekuatan untuk bisa mengambil langkah yang menguntungkan: kalau jelas kalah, lebih baik sebelumnya tanya dulu kalau dimungkinkan syarat-syarat damai sehingga tak perlu berperang.

Perang, rupanya adalah dunia hidup yang tidak asing bagi Guru dari Nazareth. Bukan, ia tidak ikut-ikutan berperang, tetapi tahu betul bahwa pada masanya tidak ada yang disebut nasionalisme. Semuanya bersifat tribal, termasuk jika terjadi perang. Yang dibela adalah kepentingan suku atau ras tertentu. Dengan begitu, seluruh kalkulasi perang ditujukan semata pada kejayaan tribal tadi. Orang berperang demi komunitasnya sendiri, sukunya sendiri, keluarganya sendiri, saudaranya sendiri, dan seterusnya. Guru dari Nazareth sendiri sempat berpikir demikian sebelum ia tertohok oleh determinasi perempuan Kanaan (yang dicap kafir oleh ‘agama’ Guru dari Nazareth ini), yang menggarisbawahi bahwa jika suatu kebaikan itu memang diridai Allah, kebaikan itu pasti terbuka pada semua, tanpa sekat apa pun, bahkan tak dapat dikungkung dalam tempurung agama.

Selama orang berpikir dalam kerangka ‘sendiri’ itu, tak mungkinlah mengikuti Guru dari Nazareth karena Guru ini hendak membangun hidup dalam persekutuan, dalam komunitas, suatu Kerajaan Allah, yang dalam diskursus Islam barangkali diistilahkan sebagai ummah alias ukkhuwah Islamiyyah. Indonesia barangkali menjadi contohnya, sekurang-kurangnya selama masa ‘pembuahan’ bangsa ini. Sayangnya, setelah sekian puluh tahun menyatakan dirinya merdeka, jebulnya belum semua, kalau bukan sebagian besar, membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudarinya, bahkan nyawanya sendiri. Tragis sebetulnya, tetapi memang begitulah kenyataannya. Anda dan saya bisa saja terbilang dalam kelompok tribal itu. Imannya jadi mangkrak dan tak dapat mengikuti Guru dari Nazareth tadi. Diperlukan suatu askese, ingkar diri, kosok balen, untuk bertatap muka, berjumpa dengan liyan, yang lain, yang berbeda, atau yang bertentangan, tanpa kehilangan akarnya.

Tuhan, bebaskanlah kami dari cinta diri yang mengebaskan Cinta-Mu. Amin.


RABU BIASA XXXI B/1
Peringatan Beato Rupert Mayer (SJ)
3 November 2021

Rm 13,8-10
Luk 14,25-33

Rabu Biasa XXXI C/1 2019: Spiritual Disruption
Rabu Biasa XXXI B/2 2018: Master atau Admin

Rabu Biasa XXXI A/1 2017: Bencilah Cinta
Rabu Biasa XXXI B/1 2015: Agama Bebek
 

Rabu Biasa XXXI A/2 2014: Mengikuti Jejak Susi