Ketika pertama kali, tanpa menginginkan kedua kalinya, saya ke Timur Tengah, saya mengira tak ada lahan subur; jebulnya tak seburuk yang saya kira. Ada daerah-daerah yang tanahnya sangat subur dan orang tinggal menyalurkan air saja sehingga di lahan itu bahkan bisa ditanam buah-buahan dari iklim tropis. Tapi, sebagaimana terjadi sekarang, biasanya pemilik lahan itu tinggalnya di luar daerah itu, atau bahkan di luar negeri. Jadi, pengolahan lahannya dipasrahkan ke orang lain. Nah, asumsinya, pengelola usaha ini dipercaya oleh pemilik lahan atau usahanya, kan? Asumsi itu kerap kali meleset; maka, bisa jadi seorang manajer dipecat atau diganti orang lain yang lebih tepercaya.
Kenyataan seperti itulah yang dipakai Guru dari Nazareth untuk mengajar dengan perumpamaan bendahara yang tak jujur, yang di akhir cerita malah dipuji tuannya karena kecerdikannya (bukan karena ketidakjujurannya). Pesan perumpamaan itu bisa ditangkap jika kita pertimbangkan personifikasi yang ada di dalamnya. Dua tokoh utamanya adalah tuan dan bendahara. Kalau ini diterapkan dalam hidup Anda, jadi lebih jelas: Anda adalah administrator atau bendahara hidup duniawi ini, bukan tuannya. Dengan begitu, juga kebenaran, bukanlah sesuatu yang Anda miliki sehingga seakan-akan Anda punya kata akhir terhadap kebenaran, melainkan sosok pribadi yang, mau tak mau, akan mencengkeram Anda. Betapa melegakannya jika Anda membiarkan diri dicengkeram oleh kebenaran, alih-alih mencengkeramnya.
Kecerdikan bendahara yang tak jujur itu bisa dilihat juga dalam bingkai itu: ia membiarkan dirinya berada dalam cengkeraman kebenaran. Buktinya? Setelah rahasia ketidakjujurannya terbongkar dan tuannya hendak memecatnya, ia mulai berpikir-pikir untuk menemukan jaminan masa depan yang lebih kokoh. Ia sadar bahwa ketidakjujurannya tidak membantu. Ia mengerti bahwa nilep selisih mark up hutang pelanggan tak lagi menjanjikan. Mamon rupanya memberi kegembiraan di masa lalu, tetapi tiada guna di masa depan. Akhirnya, manajer ini melihat jalan keluarnya: membangun persahabatan dengan mereka yang tadinya hendak dia tilep kekayaannya.
Itulah pesan yang saya tangkap dari perumpamaan ini: ajakan untuk memandang urusan duniawi ini sebagaimana Guru dari Nazareth memandangnya. Bagaimanakah itu? Urusan duniawi menjadi kesempatan untuk membangun cinta, persahabatan atas dasar atau dengan cinta itu sendiri. Jika tak terkoneksi atau bertransformasi sebagai manifestasi cinta, urusan duniawi itu, bagaimana pun hebatnya, meskipun populer dan menyabet aneka macam penghargaan, tak akan diperhitungkan. Arti konkretnya: tak akan membuat orang menikmati kebahagiaan hidup sejati, laksana menonton film hanya trailernya.
Semoga kita diperkenankan menjadi sahabat Tuhan dalam untung dan malang. Amin.
JUMAT BIASA XXXI B/1
5 November 2021
Jumat Biasa XXXI C/1 2019: Sontoloyo Cerdik
Jumat Biasa XXXI B/1 2017: Kue Susun Rumah Lapis
Jumat Biasa XXXI C/2 2016: Cerdas dan Humanis
Jumat Biasa XXXI B/1 2015: Cinta Kok Wajib
Jumat Biasa XXXI A/2 2014: DPR DaPuRmu
Categories: Daily Reflection