Jalan-jalan Tuhan itu lurus dan orang-orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir di situ. Begitu kata teks bacaan pertama hari ini. Kok isa gitu ya? Apa jalan lurus itu ada tumpahan oli atau kulit pisangnya? Akan tetapi, kalau ada oli atau kulit pisangnya, orang-orang benar mestinya juga tergelincir dong ya?🤣
Tentu saja, tergelincir di situ bukan perkara oli dan kulit pisang karena di awal sudah dikatakan bahwa itu adalah teguran bagi umat Israel yang sudah melakukan kesalahan dengan mengandalkan hidup mereka kepada kekuasaan bangsa Asyur komplet dengan berhala-berhalanya.
Memang tidak mudah melawan berhala, justru karena ilah itu bisa beda tipis dari Allah. Awalnya sih Allah, tapi di tengah dan akhir jebulnya jadi ilah. Apakah Allah bisa berubah jadi ilah? Katanya Allah itu tak berubah, kekal selamanya; gak mungkin jadi ilah dong mestinya.
Pada saat menjenguk teman yang opname di rumah sakit, seperti biasanya, aura saya bernuansa kurang ajar, meskipun toh saya lihat-lihat kondisi pasien, supaya sekurang-kurangnya yang sakit itu bisa tergoda untuk gembira. Salah satu hal yang dikeluhkan teman saya ini ialah menu masakan rumah sakit yang tak berasa. Tampilannya doang a la makanan restoran, tapi rasanya hambar! Itulah yang saya sukai pas kunjungan ke rumah sakit. Saya habiskan makanan jatah pasien yang tak dimakan, dan jebulnya rasanya enak tuh! [Mungkin karena lapar juga]
Tentu, Allah jadi ilah bukan perkara selera yang bergantung pada lidah orang. Allah menjadi ilah karena orang kehilangan sense, yaitu jiwa yang tertambat pada Allah. Jalan Allah lurus, tapi bukan dalam arti mulus tanpa jerih payah orang untuk memelihara antena sense akan yang ilahi. Bukan dumeh alias mentang-mentang di jalan lurus njuk orang leha-leha meluncur: dia tetap mesti berjalan naik turun, oleng kiri kanan, tapi tak berarti memberontak.
Tak mengherankan, bacaan kedua menyodorkan nasihat supaya orang beriman secara sederhana: tulus dan cerdik, yakin mantabs hidupnya bersama Allah, tetapi terbuka juga bahwa Allah bisa bersuara lewat konteks hidup sekeliling; entah bibi sirik, emak cerewet, anak bengal, atau bapak nakal. Ini bukan perkara sirik-cerewet-bengal-nakal itu fine, melainkan perkara melihat peluang di dalamnya untuk memberi respon secara tulus dan cerdik.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menangkap tanda-tanda kehadiran-Mu dalam hidup kami yang serba remeh. Amin.
JUMAT BIASA XIV C/2
8 Juli 2022
Jumat Biasa XIV A/2 2020: Stay Tuned
Jumat Biasa XIV B/2 2018: Bahayanya Iman
Jumat Biasa XIV C/2 2016: Silakan Mringis
Jumat Biasa XIV A/2 2014: Apakah TV Bisa Bertobat?
Categories: Daily Reflection