Semuanya Donasi

Anda tentu tahu rukun Islam yang terakhir: naik haji. Terus terang, saya tidak tahu dari mana datangnya tambahan kata ‘naik’ itu. Maklum, saya orang baru di sini. Saya hanya tahu bahwa rukun Islam kelima itu merujuk pada ziarah ke Mekah. Dulu mestinya jadi rukun yang paling berat karena umat Islam sungguh-sungguh mesti berziarah. Dalam bahasa formasi saya: peregrinasi. Saya pernah singgung pengalaman itu pada tautan ini. Salah satu pastor yang menampung saya sebelum mulai peziarahan itu menertawakan kami yang mengemis: zaman dulu, orang mesti jalan kaki; sekarang ini, untuk apa, sudah ada taksi, bus, pesawat, dan sebagainya!

Dalam kebanyakan sejarah Islam, para peziarah akan berjalan kaki, naik kuda, atau unta untuk perjalanan yang bisa makan waktu sampai berbulan-bulan. Mereka ini tidak akan bengong selama berziarah. Ada semacam rosario yang mereka daraskan dengan lirik yang mirip dengan syair yang terdapat dalam Mazmur 40: Ya Tuhan, aku datang melakukan kehendak-Mu: Labbaik, allahumma labbaik. Saya kira, dengan mendaraskan syair itu, umat Islam relate dengan Yang Ilahi dengan mengenang Abraham, Ismael, dan Nabi Muhammad yang kiranya juga melantunkan syair itu. Saya kira juga, poinnya bukan pada syairnya, melainkan pada sikap batin untuk memercayakan peziarahan pada perlindungan Allah sampai kembali ke tempat asal.

Kalau Yesus dalam teks hari ini melarang para muridnya membawa bekal, saya kira maksudnya bukan karena bekal itu jahat atau buruk, melainkan supaya murid-muridnya berlatih memercayakan hidup kepada Allah dalam arti yang sangat konkret. Dalam sikap hidup seperti itu, apa saja bisa jadi donasi, bukan prestasi, bukan juga jasa diri sendiri. Donasi ini diterima secara cuma-cuma, dan Anda sudah bisa menebak arah omongan saya: yang Anda terima secara cuma-cuma, berikanlah juga secara cuma-cuma. Kalau untuk memberikan secara cuma-cuma itu Anda butuh biaya administrasi, ambil saja sebagian dari donasi untuk pembiayaan administrasinya, tetapi tak perlu pakai alasan angka 15 persen! Kenapa?

Haiya jelas toh. Kalau Anda diminta memberikan donasi 1 milyar kepada tetangga sebelah rumah yang bisa dijangkau dengan jalan kaki, njuk Anda mau operasi kaki 150 juta gitu po? Atau, apa ya saya mesti menyampaikan donasi 10 juta untuk warga miskin di pulau seberang dengan tiket pesawat 8 juta gitu? Saya sih tak mau. Pertama, donasinya jadi berkurang signifikan. Kedua, saya bukan agen penyalur tunggal donasi. Mesti ada cara lain yang lebih bermartabat tanpa mengurangi makna donasi.

Berlindung di balik donasi dan legal formal angka administrasi bisa saja mengubah donasi jadi dosa-nih. Njuk apa ya itu bikin hepi yang autentik? Saya curiga tidak begitu. Donasi yang autentik, dan dengan demikian juga administrasinya yang tulus, memungkinkan semua makhluk berbahagia. Dasarnya tidak bisa tidak, bagi orang beriman: segalanya dipercayakan kepada penyelenggaraan ilahi, juga kalau manusia mesti berjibaku, berjuang keras.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami senantiasa memercayakan hidup kami kepada cinta-Mu. Amin.


KAMIS BIASA XIV C/2
7 Juli 2022

Hos 11,1.3-4.8c-9
Mat 10,7-15

Kamis Biasa XIV B/2 2020: Kesempitan
Kamis Biasa XIV A/1 2017: Sini Pergi

Kamis Biasa XIV C/2 2016: Konduktor atau Resistor
Kamis Biasa XIV B/1 2015: Allah Tidak Eksklusif
Kamis Biasa XIV A/2 2014: Don’t Burden Yourself