Sudah dibahas dua tahun lalu, positifnya ‘takut’ ialah bahwa ia membawa serta kewaspadaan akan bahaya. Yesus yang menasihati murid-muridnya supaya tidak takut itu bukannya tak punya ketakutan. Kalau orang diajak beriman dan tidak punya ketakutan, bisa jadi ia tidak mengerti bahayanya jadi orang beriman. Semua take it easy saja dan saking easynya, sampai sedemikian ringan dan tak ada bobotnya.
Yang bikin runyam bukan ketakutan akan bahaya, melainkan ketakutan yang mempermainkan rasa takut orang, yang bikin orang tak bisa mengambil keputusan, dan akhirnya hidup cuma jadi hitung-hitungan untung rugi. Susah kan, wong hidup dikasih gratis aja masih hitung untung rugi. Tapi, apa mau dikata, dalam skala tertentu, setiap orang memang punya momen undecided. Yang membedakan hanya durasinya. Ada yang berlama-lama berkubang dalam situasi undecided, ada yang situasi itu tak bertahan dalam hitungan sepersekian detik. Itu mengapa dulu juga saya sitir wejangan merekrut orang relatif tua sebagai sopir dan merekrut orang muda sebagai tentara. Tentara mesti tidak berlama-lama dengan situasi undecided, risiko apesnya ya kematian, tapi siapa takut?
Idealnya, orang punya sikap seperti tentara itu, tetapi diimbangi juga dengan pilihan-pilihan jernih untuk menghargai kehidupan. Untuk punya pilihan jernih itu, semestinya juga orang tak perlu menunggu sampai tua, keburu ketembak dong kalau ikut perang.
Lha ya gapapa, Rom. Namanya juga perang, kalau gak membunuh ya terbunuh toh?
Betul, tapi hidup kita ini kan bukan mobile legend atau valorant. Kita cuma punya satu nyawa, satu jiwa (meskipun punya opsi jiwa muda atau jiwa tuwir).
Kalau mau menjadikan perang sebagai metafora kehidupan, paling masuk akal, menurut saya, adalah perang antara roh yang baik dan roh yang tak baik, antara terang dan gelap, yang semuanya itu adanya dalam diri orang. Yang pertama bikin hidup lebih hidup, yang kedua bikin hidup jadi pudar, hambar, tawar, bubar.
Kerap kali yang bikin orang undecided malah hidup yang pudar, orang tak bisa putus dari hidup yang hambar.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk mengambil keputusan dan keberanian untuk menapaki risiko di dalamnya. Amin.
SABTU BIASA XIV C/2
9 Juli 2022
Sabtu Biasa XIV A/2 2020: Reputasi Kebenaran
Sabtu Biasa XIV B/2 2018: Jihad Yuk
Sabtu Biasa XIV C/2 2016: Jangan-janganisme
Sabtu Biasa XIV A/2 2014: Guru Tak Lebih dari Muridnya
Categories: Daily Reflection