Bukti

Published by

on

Disclaimer: Ini bukan polemik tentang putusan MK, meskipun judulnya memakai kata dasar yang kerap dipakai sebagai dasar putusan MK. Tiada guna berpolemik di sini.

Barangkali Anda pernah melihat suasana voting ketika orang celingak-celinguk dulu sebelum mengangkat tangannya untuk menyatakan setuju atau tidak setuju. Dapatkah Anda menyatakan bahwa kondisi celingak-celinguk tadi adalah bukti bahwa voting itu berlangsung dalam kondisi tidak bebas? Menurut saya sih tidak, karena kebebasan adalah dinamika batin seseorang. Bagaimana Anda mau membuktikan ratusan juta orang punya kebebasan batin?

Akan tetapi, baiklah, katakan saja celingak celinguk itu bukti orang tidak bebas dan Anda menggeser mekanisme voting dengan suasana yang lebih bebas dan rahasia. Semua pemilih tidak bisa celingak celinguk mencontek. Dapatkah Anda menjamin bahwa voting tanpa mencontek itu terbebas dari pengaruh ini itu? Dapatkah Anda pastikan bahwa si voter itu tidak memilih atas dasar kata-kata atau imajinasi yang terngiang di kepalanya dari orang-orang di sekelilingnya beberapa jam, hari, atau bulan sebelumnya? Bahwa itu jadi rahasia, iya, tetapi apakah bisa dibuktikan di situ ada kebebasan memilih tanpa pengaruh lingkungannya?

Sekarang mari kita beranjak ke hal yang tampaknya tidak batiniah, yang mungkin lebih mudah dibuktikan. Ingatlah bagaimana dulu Anda dicubit atau dijewer guru atau teman Anda sampai Anda berteriak “Aduh sakit” dan mungkin guru atau teman Anda itu berhenti mencubit atau menjewer Anda. Pertanyaan saya: Apakah teriakan “Aduh sakit” itu adalah bukti bahwa Anda sakit atau kesakitan, atau, itu hanya persepsi dan guru atau teman Anda itu percaya pada persepsi bahwa Anda kesakitan?

Saya mau mengatakan begini: tidak ada bukti sesuatu tidaklah sama dengan tidak ada sesuatu. Artinya, tidak ada bukti cawe-cawe bukan berarti tidak ada cawe-cawe. Tidak ada bukti korupsi bukan berarti tidak ada korupsi. Tidak ada bukti pengaruh A terhadap B tidaklah sama dengan tidak ada pengaruh A terhadap B. Tidak ada bukti abuse of power tidaklah sama dengan tidak ada abuse of power

Paralel dengan itu, teks bacaan hari ini menunjukkan bagaimana orang-orang Yahudi tidak menerima pekerjaan-pekerjaan Yesus sebagai manifestasi kemesiasannya. Bagi mereka, itu semua bukan bukti dan memang persoalannya bukanlah bukti, melainkan kepada apa dan siapa orang-orang Yahudi ini menaruh kepercayaan.

Di situlah letak relevansi hidup Yesus dengan hidup zaman now: hidup kemesiasannya tidak tertangkap oleh prosedur yang menuruti status quo. Tidak ada transformasi dalam status quo karena status quo bertendensi mempertahankan bahkan menimbun kekuasaannya. Jadi, lucu juga kalau Anda berharap orang-orang dalam lingkaran status quo mengakui dirinya melakukan abuse of power.

Yesus tidak pernah jadi bagian status quo, suaranya tidak pernah jadi suara mayoritas. Tampaknya, ia tidak begitu concern pada mayoritas-minoritas karena yang terpenting ialah orang menaruh kepercayaan pada Dia yang berkuasa atas kesejatian hidup manusia, sangkan paraning dumadi. Sayangnya, ini tak bisa dibuktikan karena datanya tersembunyi dalam hati nurani, yang mungkin tak terbaca politisi dan (hakim) konstitusi.

Tuhan, ajarilah kami menangkap hukum-Mu dalam setiap tata kelola hidup kami bersama. Amin.


SELASA PASKA IV
23 April 2024

Kis 11,19-26
Yoh 10,22-30

Posting 2020: Intimitas
Posting 2018: Hold on for one more day

Posting 2017: Tangan Tuhan

Posting 2016: Bertindak Heroik

Posting 2015: Kristen atau Kriminal

Posting 2014: ID Card – ID Body

Previous Post
Next Post