Jika Anda mendapat poin mengenai pertobatan dalam posting What Do You Mean by ‘Conversion’?, mungkin Anda mengerti mengapa pertobatan Paulus dipestakan oleh Gereja Katolik, Anglikan, dan Lutheran. Ini bukan perkara bahwa karena jasa Paulus umat Kristen jadi bertambah banyak di wilayah kekaisaran Romawi. Memang betul, Paulus jelas mengharapkan perkembangan jumlah umat, tetapi bukan semata per se demi bertambahnya angka seturut sensus, melainkan bertambahnya jumlah warga yang dapat menikmati kesejahteraan umum dengan disiplin hidup atau aturan main tertentu. Yang disodorkannya bukan kemakmuran bersama begitu saja dengan model bansos, melainkan kemakmuran bersama yang diperoleh dari aturan main yang memungkinkan bansos itu menjadi gerakan solidaritas, bukan gerakan hirarki dari penguasa ke rakyat jelantah.
Kalau begitu, pertobatan Paulus bisa dimengerti juga bukan melulu dengan perspektif agama, melainkan perspektif sosial. Dengan begitu, pertobatan yang memukau itu sesungguhnya juga bertebaran di sepanjang zaman. Kali ini saya sodorkan sosok Kasim, bukan yang ada di film-film mandarin, melainkan yang sebagian kisah hidupnya disampaikan oleh Hanna Rambe dalam buku berjudul Seorang Lelaki dari Waimital. Nama kompletnya Muhammad Kasim Arifin. Sudah meninggal sekitar dua dekade lalu. Sebagai mahasiswa, Kasim menghilang selama 15 tahun di Maluku karena ia terpanggil untuk memajukan daerah 3T tanpa mengandalkan tetek bengek slogan pemerintah. Kisahnya bisa dengan mudah Anda temukan di dumay dan kisah itu saya yakin memang terjadi di dunya. Orang yang seperti Kasim ini pasti ada juga, tetapi mungkin tidak banyak. Hidup keras seperti dialami Kasim lebih banyak dialami mereka yang dulu jadi ‘korban’ transmigrasi tanpa tanggung jawab pemerintah, yang berperilaku seperti pemerhati hewan buas melepaskan kembali hewan buas itu ke habitatnya.
Pertobatan Kasim tidak membuatnya murtad, sebagaimana Paulus tidak hendak menyangkal agama Yahudi. Akan tetapi, pertobatan mereka ini terjadi ketika mereka menemukan cara baru memandang realitas dan membangun ‘aturan main’ yang memungkinkan agama mereka menjadi relevan. Tegangan tentu terjadi. Baik Kasim maupun Paulus pasti mendapat tentangan atau protes dari status quo, tetapi itu lebih disebabkan bahwa pengidola status quo tidak (mau) terbuka mengalami perjumpaan dengan mereka yang hidupnya teraniaya. Atau, bisa juga, perjumpaan itu sangat dangkal sehingga paling jauh hanya memantik rasa ‘kasihan’ dan tidak lebih lanjut ke dimensi volutif so what gituloh.
Hanya orang-orang yang sungguh merdeka akan terdorong untuk terlibat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bersama, alih-alih kecanduan atau ketergantungan pada mekanisme bansos. Semoga semakin banyak orang yang merdeka untuk membangun peradaban luhur atas dasar cinta kepada Allah dan sesama. Amin.
PESTA BERTOBATNYA S. PAULUS
Sabtu Biasa II C/1
25 Januari 2025
Posting 2021: Racun
Posting 2020: Kapokmu Kapan
Posting 2019: Kucing Anjing Kelinci
Posting 2018: Perlu Refill Hidayah
Posting 2017: Adakah Agama Kafir?
Posting 2016: Jangan Mengobjekkan Tuhan
