Parah

Published by

on

Baru hari Minggu lalu saya singgung soal eisegesis, dan hari ini saya tersadar bahwa saya melakukan hal yang saya larang orang lain melakukannya. Parah kan, gak beda jauh dari penjahat yang minta orang lain melakukan efisiensi tetapi ia sendiri menginap di hotel saat warganya kebanjiran?
Lah, kan lebih efisien rapat dan nginep di hotel, Rom?
Mosok mesti saya jawab “Efisien ndhasmu” sih?

Supaya efisien tanpa membawa-bawa ndhas babi ke kantor jurnalis [semangat Kakak!], baiklah saya rangkumkan alegori dalam teks bacaan utama hari ini. Raja melambangkan Tuhan. Hutang melambangkan dosa. Hamba pertama melambangkan orang yang dosa beratnya diampuni Tuhan. Hamba kedua melambangkan orang yang dosanya relatif ringan. Nah, makna penting alegori ini ialah bahwa jika orang tak mau mengampuni orang lain, pengampunan dari Tuhan itu juga akan dibatalkan (bdk. Mat 6,14-15; begitulah kira-kira artinya).

Persoalannya, saya ini kan percaya seyakin-yakinnya bahwa Allah itu maha pengampun. Ha kalo’ Ia membatalkan pengampunan-Nya, njuk gimana saya bisa tetap yakin bahwa Allah maha pengampun? Apa pun alasannya, membatalkan pengampunan itu berarti membatalkan kualitas maha-Nya dong!
Di sinilah saya melakukan eisegesis: orang yang tak mau mengampuni sebetulnya belum sungguh-sungguh mengalami pengampunan dari Allah. Itu paralel dengan keyakinan saya bahwa orang tak bisa mencinta sebelum ia yakin bahwa ia telah lebih dulu dicintai Allah. 
Apakah pernyataan saya soal pengampunan itu keliru? Belum tentu! Akan tetapi, teks bacaan utama hari ini tidak bicara soal itu, dan jika saya memaksakan arti teks hari ini untuk menjaga ideologi Allah maha pengampun tadi, itulah eisegese.

Trus gimana kita menghindarkan eisegesis ya, Rom?
Ya lihat ceritanya saja apa adanya, gak usah dipaksa-paksakan siapa melambangkan apa atau apa melambangkan siapa: itu adalah cerita tentang seorang raja, bukan Tuhan, yang menarik kembali pengampunannya. Dengan begitu, perumpamaan itu tetap bisa menunjukkan betapa parahnya sikap tidak mau mengampuni, tanpa harus bawa-bawa sifat Allah segala. Di situ, sikap tak mau mengampuni memuat risiko bahwa orang yang memupuk sikap itu tak akan dapat pengampunan juga. Lebih dari itu, orang lemahlah yang menanggung akibatnya juga.

Keparahan itu tidak hanya terkait dengan hidup individu, tetapi juga hidup bersama. State capture yang saya singgung dalam catatan Cooling System bisa jadi contoh keparahan itu: semua saling sandera dan bongkar kasus ini itu, ancam si anu, teror si itu, dan seterusnya. Parah dah pokoknya, bahkan meskipun Indeks Harga Saham Gabungan anjlok dan timnas babak belur pun, para pendengung penuh jasa pada status quo masih juga membanggakan diri dengan bansos dan badan gizinya. Parahlah ketika kritik hanya diterima sebagai ujaran kebencian seakan-akan pemilu belum usai.

Memang sih, pada akhirnya, status quo tidak punya sense akan parahnya situasi justru karena semua fasilitas dipunyainya dan risiko ditanggung orang lain. Krisis dijalani rakyat jelantah yang mungkin bisa mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Ini berkah, tapi bisa jadi amarah jika yang seharusnya mengemban amanah kehilangan trust akibat penjarah meritokrasi dan demokrasi dengan jasa para pendengung.

Tuhan, mohon rahmat kemurahhatian supaya pengampunan kami juga berkeadilan. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA III
25 Maret 2025

Dan 3,25.34-43
Mat 18,21-35

Posting 2021: Unlimited
Posting 2020: Lencang Belakang
Posting 2019: Belajar Melulu

Posting 2018: Bagi Cinta Dong

Posting 2017: Ganti Fokus Bro’

Posting 2016: Mau Perfeksionis?

Posting
2015: Revolusi Mental Hukum Mati

Previous Post
Next Post