Revisi Dong

Published by

on

Andaikan saja ada ayat Kitab Suci yang berbunyi “Aku datang bukan untuk merevisi UU TNI, melainkan untuk menggenapinya.” Ayat ini pastilah jadi pegangan mereka yang kontra revisi UU TNI. Sebaliknya, tak dianggap suci oleh mereka yang bersikeras merevisinya. Akan tetapi, entah pro atau kontra, keduanya bisa abai terhadap soal penggenapannya.

Teks bacaan utama hari ini memuat ayat serupa (lha wong ayat itu juga modifikasi teks bacaan hari ini) tetapi penuturnya sudah mengambil sikap bahwa dia bukan kelompok pro-revisi, apalagi membatalkan hukum. Tidak main-main, ini perkara Hukum Taurat, yang menata peri kehidupan suatu bangsa yang berketuhanan YME! Meskipun demikian, ia juga tidak menyokong status-quo yang anti-revisi. Jadi agak runyam dan penutur dalam teks itu tak bisa begitu saja digolongkan dalam kelompok pro-revisi atau pembela status quo. Penggolongan seperti itu akan mendangkalkan persoalan karena ia tak berpretensi merevisi, apalagi membatalkannya.

Menurut penulis Matius, hukum itu malah perlu digenapi.
Apakah saat itu hukumnya masih ganjil sehingga perlu digenapi? Iya betul. Keganjilannya ialah hukum itu dianggap sebagai tujuan pada dirinya sendiri, tidak ada maksud lain dan, dengan demikian, misalnya, aturan pantang dan puasa begitu sentral sehingga semua saja harus berpantang dan puasa sesuai aturan itu. Itu tidak genap. Kalau mau genap, perlu dipertimbangkan maksud besar pantang dan puasa itu. Jika maksud pantang dan puasa dilabeli sebagai aturan ilahi yang berlaku kekal dan universal, itu tak perlu dipertentangkan dengan aturan sementara. Menjadi genap jika aturan yang sementara itu sinkron dengan maksud besar yang kekal dan universal.

Kalau begitu, revisi atau tidak revisi bukanlah poin pentingnya, melainkan bagaimana revisi itu dilakukan: pasti ada konflik kepentingan dan bagaimana konflik kepentingan itu dikelola, itulah yang terbuka pada kritik. Jika ruang kritik itu ditutup, itu artinya yang punya kepentingan terkuat akan mendesakkan status quo, bukan status quo hukumnya, melainkan status quo kepentingannya. Itu mengapa, bahkan meskipun Anda dan saya tidak sepakat dengan terorisme, cara-cara menghadapinya juga mestinya tidak mengikuti cara kerja ugal-ugalan terorisme. Jika begitu halnya, hukum tetaplah ganjil bahkan meskipun tampaknya baik dan tidak mengarah pada dwifungsi #eh.

Dengan demikian, sebagaimana mahasiswa gemes karena kerap diminta revisi kerjaan [padahal dosennya lebih gemes lagi setiap kali minta mahasiswa merevisi, wkwkwk], orang beriman pun mungkin gemes karena setiap kali mesti merevisi tatanan dan perilaku hidup mereka seturut maksud besar sangkan paraning dumadi. Akan tetapi, memang begitulah menggenapi hukum; tidak memutlakkan hukumnya sendiri tetapi membuat implementasinya sinkron dengan maksud hukum itu dibuat, bukan malah membuat-buat hukum jadi cocok dengan kepentingan status quo

Tuhan, mohon rahmat untuk merevisi keganjilan hukum kami. Amin.


HARI RABU PRAPASKA III
26 Maret 2025

Ul 4,1.5-9
Mat 5,17-19

Posting 2021: Hukum Sempurna
Posting 2020: Spiritual Distancing
Posting 2019: Dead Scriptures
Posting 2018: Kebetulan Untung

Posting 2017: Agama Nganu

Posting 2016: Menerima Kado

Posting 2015: Love and Do Whatever You Want

Posting 2014: Do We Need School of Heart?

Previous Post
Next Post