Spiritual Distancing

Social distancing tidak otomatis membuat orang mengalami spiritual distancing, tetapi bisa juga mengarah ke sana. Dalam posting Sarana Receh sudah saya singgung bagaimana virus korona memaksa orang beragama untuk mencari apa yang terdalam pada hidup keagamaan. Kemarin muncul dalam media sosial suatu sajak, yang saya tak tahu penulisnya, yang menggambarkan lebih detil apa yang saya maksud. Tentu tak perlu mempersoalkan akurasi datanya: Vatikan sepi, Yerusalem sunyi. Tembok Ratapan dipagari. Gereja ditutup. Jemaat dirumahkan. Misa dibatalkan. Jalan salib dihentikan. Paska tak pasti. Litani doa berubah. Air suci menguap. Korona datang seolah-olah membawa pesan bahwa ritual itu rapuh!… Korona memurnikan agama bahwa tak ada yang boleh tersisa kecuali Tuhan itu sendiri. Datangi, temui dalam doa dan kenali Dia melalui perkataan-Nya di saat yang teduh.

Tahun-tahun lalu saya membantu pastor yang bekerja di gereja untuk mendengarkan pengakuan dosa umat Katolik. Dalam empat jam saya bisa mendengarkan delapan puluh orang (yang tentu tidak ideal sebagai pendampingan rohani) karena antreannya memang panjang. Kemarin sore dalam dua jam, sepuluh orang saja. Sepi. Tentu saja, sedikit banyak ini adalah akibat social distancing yang digaungkan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus korona. Sakramen tobat tidak termasuk ibadah yang bisa dilakukan di rumah, termasuk via streaming, kecuali pastornya mengunjungi rumah-rumah umatnya.

Saya tidak dalam posisi menentang social distancing, malah saya mendukungnya, tetapi dengan harapan bahwa itu tidak berubah jadi spiritual distancing. Uskup sebagai pimpinan tertinggi Gereja lokal bisa mengambil kebijakan yang memecahkan persoalan yang diakibatkan oleh social distancing supaya tak jadi spiritual distancing. Misalnya, dalam hal sakramen tobat tadi, ada mekanisme absolusi umum yang tidak mewajibkan setiap orang datang mengaku dosa pada masa yang sangat tidak kondusif. Social distancing bisa jadi kondisi yang memenuhi keadaan tadi, tentu dengan penjelasan dan prosedur yang wajar. Absolusi umum tidak membebaskan orang yang dosanya begitu besar untuk tidak datang ke ruang pengakuan. Ia bisa datang setelah kondisi tak kondusif itu berlalu.

Teks bacaan kedua hari ini bisa dipandang sebagai undangan untuk membuat social distancing tidak sampai jadi spiritual distancing. Guru dari Nazareth dituduh kerap melanggar Taurat dan hendak menghapuskannya. Kalau sebagai orang Kristen mengabaikan Taurat atau Alquran atau kitab suci lainnya, Anda sedang melakukan spiritual distancing. Kalau sebagai orang beragama Anda berpegang teguh bahwa agama Anda adalah agama terbaik di seluruh jagad raya bagi semua orang, Anda juga di ambang spiritual distancing.

Guru dari Nazareth tidak mewartakan spiritual distancing. Sebaliknya, ia malah hendak menyempurnakan implementasi Taurat dalam hidup sehari-hari. Itu tidak mengatakan bahwa Taurat lebih jelek atau kurang sempurna dibandingkan dengan Sabda Bahagia yang diajarkannya. Yang membuat hukum agama jadi sempurna bukanlah rumusannya, melainkan pelaksanaannya yang dilandasi oleh cinta yang memerdekakan. Begitulah, ketaatan tanpa cinta, benar-benar seperti eksekusi perintah sistem komputer atau bahkan sains yang tidak menaruh respek pada relasi merdeka seseorang dengan penguasa semesta.

Tuhan, bantulah kami supaya dalam masa sulit ini kami tetap terpaut pada-Mu dan sesama juga. Amin.


HARI RABU PRAPASKA III
18 Maret 2020

Ul 4,1.5-9
Mat 5,17-19

Posting 2019: Dead Scriptures
Posting 2018: Kebetulan Untung

Posting 2017: Agama Nganu

Posting 2016: Menerima Kado

Posting 2015: Love and Do Whatever You Want

Posting 2014: Do We Need School of Heart?