Pada layar aplikasi medsos saya muncul montase screenshot dua berita: tablig akbar di Sulawesi dan tahbisan uskup di Ruteng. Di bawah montase itu diberi caption: Sama2 mabok agama dan tak punya tanggung jawab.
Kadang saya jadi pengamat orang yang mabok agama, tetapi dalam hal ini saya tak punya data untuk menilai. Konon, tablig akbar itu resmi dibatalkan dan pesertanya bersedia diisolasi sampai prosedur pembersihan selesai. Kalau orang mabok agama, penjelasan berlatar kesehatan masyarakat ini tentu gak akan digubris.
Sementara itu, mengenai tahbisan uskup, saya tak mendapat kabar pembatalan dan saya kira ini akan tetap dilaksanakan di kota yang wilayahnya lebih dihantui demam berdarah daripada virus korona. Ribuan kasus DB dengan belasan korban jiwa kiranya lebih menakutkan. Kalau panitia tahbisan ini lalai mengikuti prosedur kesehatan publik, barangkali bisa jadi kegiatan itu merepresentasikan orang-orang yang mabok agama dan tak punya tanggung jawab. Kalau mereka serius bekerja sama dengan pemerintah dalam menangkal penyebaran virus korona, saya tak melihat alasan menghakimi mereka mabok agama dan tak punya tanggung jawab.
Hari ini Gereja Katolik menyelingi masa tobatnya dengan merayakan Santo Yusuf, suami Maria, bunda Yesus. Ini sosok pria yang setia dan tanggung jawabnya tak perlu diragukan. Pesan teks yang nyantol dalam benak saya ialah yang disampaikan malaikat kepada Yusuf ini: jangan takut (mengambil Maria jadi istrinya). Ndelalahnya, kemarin saya lihat klip video orang yang mabok agama menegaskan bahwa orang beriman tak takut virus korona. Kenapa saya nilai mabok agama? Karena mengabaikan sains dan hanya berpegangan bahwa Allah pasti menolong orang beriman tanpa prosedur-prosedur manusiawi atas dasar sains. Nah, itu contoh spiritual distancing juga.
Orang beriman memang tak perlu takut pada virus korona atau virus lainnya, tetapi itu tak berarti orang beriman harus mengabaikan pendekatan sains. Yang penting, orang berpikir dan bertindak bukan semata karena rasa takut. Bahwa rasa takut muncul, tak perlu diingkari, tetapi orang beriman tidak bertindak karena rasa takut, melainkan karena trust kepada Allah yang diimaninya. Karena trust kepada Allah itulah Yusuf justru dapat mengambil keputusan secara rasional demi kebaikan bersama, bukan demi kebaikan dirinya sendiri atau bahkan demi kebaikan Maria belaka.
Sebaliknya, kalau orang takut dan tak menaruh trust kepada Allah, ia justru bisa jatuh ke spiritual distancing lainnya: mati-matian membela sains dan mencaci maki keyakinan kepada Allah, seakan-akan sains yang dibelanya itu akan membuatnya hidup kekal. Saya sepakat sama Jürgen Klopp saja: sepak bola bukan segala-galanya, penting bahwa orang happy dalam hidupnya. So, sejauh belum lockdown, ikuti saja social distancing, juga dalam hidup keagamaan. Mengapa mesti takut? Pun kalau rasa takut itu tak terelakkan, mengapa mesti mengambil keputusan karena rasa takut seakan-akan hidup fisik ini harus dipertahankan secara membabi buta sehingga orang main pukul rata tanpa peduli konteks hidup konkretnya?
Ya Allah, bebaskanlah kami dari aneka ketakutan untuk mencintai-Mu juga dengan segala jerih payah yang dapat kami upayakan demi kebaikan bersama. Amin.
HARI RAYA S. YUSUF, SUAMI SP MARIA
(Kamis Prapaska III)
19 Maret 2020
2Sam 7,4-5a.12-14a.16
Rm 4,13.16-18.22
Mat 1,16.18-21.24
Posting 2019: Merangkak Tanpa Mangkrak
Posting 2018: Kau Terlalu Baik
Posting 2017: Siapa Dulu Suaminya
Posting 2016: Beneran Amanah?
Posting 2015: Cinta Bukan Ngampet
Posting 2014: From Humiliation to Humility
Categories: Daily Reflection