Dead Scriptures

Teks hari ini mengingatkan saya pada kegelisahan yang sudah saya ungkapkan setahun yang lalu dalam posting Wis Kêwowogên dan kiranya saya ulangi lagi karena saya punya intuisi bahwa tak sedikit orang yang hidup seolah-olah. Loh, kalimat kok nanggung gini sih, Rom? Ya biar gak kepanjangan gitu deh.
Ada orang yang hidup seolah-olah cuma Kitab Suci dia sendiri yang eksis atau hanya Kitab Suci dia sendiri yang benar. Akibatnya, orang macam begini terjerembab dalam paradoks bikinannya sendiri dan ia mungkin tidak tahu bahwa Paulus sudah lama mengatakan bahwa hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan (2Kor 3,6).

Kalau orang sadar sejarah sedikit saja, orang tahu bahwa Yesus dan murid-muridnya semula hanyalah sekelompok kecil dari agama Yahudi dan hal tak terduga terjadi. Mereka jadi komunitas kecil pembawa pesan Injil yang menyebar dengan jelas di kekaisaran Romawi, dan bahkan setelah keruntuhan kekaisaran Romawi, kelompok pengikut murid-murid Yesus ini tetap dominan, tetapi tentu muncul aneka kesalahpahaman, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam relasinya dengan saudara-saudara Yahudi. Celakanya, karena dituduh tidak mengakui Mesias, orang-orang Yahudi menderita sampai wujud terburuknya dalam sejarah tampil dengan peristiwa Holocaust

Santo Paus Yohanes Paulus II pada masa hidupnya mengakui sejarah kelam Gereja dan dengan aneka cara menyatakan maaf atas tragedi yang menyeret iman korup Gereja. Akan tetapi, seperti tadi sudah saya sampaikan, intuisi saya berkata bahwa masih ada saja orang yang berpikiran bahwa Yahudi sesat dan Gerejalah yang benar. Orang mengabaikan sejarah kesalahpahaman yang bisa jadi terpelihara di akar rumput, justru karena mereka terpaku pada teks ‘suci’ tanpa mengandalkan Roh yang memberi kehidupan sehingga ujung-ujungnya cuma adu kepala bahkan adu jotos atau adu molotov.

Jika kekristenan muncul dari Yudaisme, tentu saja ada sebagian dari orang-orang Yahudi yang secara setia memelihara Sabda Allah selama dua milenia ini meskipun tidak memakai teks-teks Perjanjian Baru. Barangkali justru mereka inilah yang menghidupi perkataan Guru dari Nazareth dalam teks hari ini, yang datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Tak usah susah-susah mengertinya. Datangi saja MRT dan lihat, tentu ada aneka macam aturan entah berupa tulisan atau gambar. Tulisan dan gambar itu mati, tak berbunyi apa-apa jika orang-orang yang membaca dan melihatnya cuma memikirkan kepentingannya sendiri.

Begitulah kiranya Guru dari Nazareth melihat Hukum Taurat. Dengan tafsir sangat bebas saya bisa membaca maksudnya: terserah Kitab Suci mana yang kamu pegang atau yakini, tidak akan saya utak-utik, tetapi yang jelas kalau Kitab Suci itu tak digenapi dengan Roh yang menghidupkan (yaitu segenap daya hati, budi, dan kehendak untuk membuka diri pada Allah bagi semua orang), Kitab Suci itu tinggal sebagai ayat-ayat beku yang mati, yang bahkan bisa dipakai untuk mematikan orang lain. Untuk menghidupkannya, orang butuh kebijaksanaan yang mempertimbangkan kebahagiaan semua makhluk, dengan asumsi kebahagiaan tidak identik dengan perasaan belaka (asal bos senang, alam ancur gapapa).

Ya Allah, kami mohon Roh Kebijaksanaan supaya teks suci-Mu sungguh hidup bagi kemanusiaan yang tercabik-cabik oleh aneka macam sentimen. Amin.


HARI RABU PRAPASKA III
27 Maret 2019

Ul 4,1.5-9
Mat 5,17-19

Posting 2018: Kebetulan Untung
Posting 2017: Agama Nganu

Posting 2016: Menerima Kado

Posting 2015: Love and Do Whatever You Want

Posting 2014: Do We Need School of Heart?