Usang

Published by

on

Pembaca zaman now melihat kisah penyembuhan dalam Kitab Suci sebagai mukjizat yang datang dari Allah. Namanya juga Kitab Suci, kan mesti dihubungkan dengan Yang Ilahi. Akan tetapi, penulis Kitab Suci tampaknya tidak menuliskan kisah penyembuhan begitu saja sebagai mukjizat yang mengundang decak kagum pembacanya dan reaksi ‘wow’ mereka itu bikin mereka semakin beriman kepada Allah. Pada kenyataannya, tidak ada orang yang semakin beriman kepada Allah lantaran mukjizat yang mereka alami.

Ada, Rom. Saudara saya sudah divonis penyakit terminal dan beberapa waktu kemudian dia didatangi pemuka agama dan vonis medis itu tak berlaku lagi dan dia sembuh total. Setelah itu, saudara saya ini semakin rajin beribadat dan bederma. Ia semakin beriman kepada Allah.
Baiklah, dengan mengucap syukur dan segala hormat kepada saudara Anda, saya hanya bisa memberi catatan bahwa rajin beribadat dan bederma hanyalah seuprit elemen dari wujud iman. Anda perlu berkaca pada kenyataan lain bahwa para koruptor melakukan hal yang sama: rajin beribadat dan bederma! 
Tentu, saya sama sekali tidak mengecilkan arti ‘rajin beribadat dan bederma’! Akan tetapi, terlalu naiflah memakainya sebagai dasar untuk menyebut seseorang beriman kepada Allah.

Penyembuhan dalam teks bacaan utama hari ini ada dalam konteks perjalanan Yesus ke Yerusalem, pusat kekuasaan agama, ekonomi, dan politik. Poinnya tidak terletak pada penyembuhannya sendiri, tetapi pada bagaimana penyembuhan itu menjadi pokok perseteruan dengan penguasa agama karena penyembuhan dilakukan pada hari Sabat! Bisa dimengerti, orang yang semula lumpuh itu, bahkan setelah luput dari kelumpuhan dan diberi pesan supaya tak bikin macam-macam lagi malah melaporkan Yesus kepada orang-orang Yahudi.

Sik3, Yesus dan orang lumpuh itu juga sama-sama orang Yahudi. Jika teks Yohanes itu memakai frase ‘orang-orang Yahudi’, pasti maksudnya tidak merujuk pada etnis atau bangsa Yahudi, melainkan sekelompok orang Yahudi pembela status quo, yang tidak punya cara untuk beriman selain dengan beribadat dan bederma sesuai aturan yang selama ini berlaku. Tak mengherankan, cara beriman yang disodorkan Yesus tak terpahami oleh pembela status quo. Mereka menyebut cara beriman yang disodorkan Yesus itu sebagai penistaan agama.

Jika pembela agama tak lagi melihat keberpihakan pada kaum tersisih sebagai prioritas di atas hukum ritual agama, bukannya tidak mungkin agama yang bersangkutan jadi semakin usang dan Kitab Sucinya tak lagi sesuci yang dibayangkan oleh para penulisnya. Anda dan saya, dengan latar belakang agama apa pun, diundang untuk tak terjerembab pada ‘Hukum Sabat’ dalam teks bacaan hari ini, yang diperlakukan sebagai tolok ukur iman kepada Allah. Iman kepada Allah tak mungkin dibatasi dalam sekat praktik-praktik religius tertentu. Iman seperti ini bisa jadi revolusioner terhadap status quo dan membuat pemimpin sejati tak tenggelam dalam post power syndrome: membuat dirinya usang dan membuat keadilan Allah terpajang. 

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk memahami cara beriman kepada-Mu yang sinkron dengan keadilan-Mu. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA IV
1 April 2025

Yeh 47,1-9.12
Yoh 5,1-3a.5-16

Posting 2021: Angkat Kasurmu
Posting 2020: Santuy Kok Harus
Posting 2019: Ganti Paradigma
Posting 2018: Cinta Rentenir

Posting 2017: Bangun Brow!

Posting 2016: Penggemar Harapan Palsu

Posting 2015: Mau Lu Apa?

Posting 2014: Will Thou be Made Whole?

Previous Post
Next Post