Insider

Published by

on

Dari atas Metropolitan dan Tangerang, dengan sapuan pandangan terhadap ribuan gedung tinggi, saya bertanya-tanya: apa yang belasan atau puluhan juta orang di bawah sana itu cari dalam hidup mereka dengan aneka hiruk pikuk dan kesibukan di sana-sini. Dari ruang tunggu satu ke ruang tunggu lain, sampai akhirnya ketinggalan pesawat dan pontang-panting mengurus perkara keterlambatan pesawat dan keterlambatan saya sendiri, saya juga bertanya-tanya: apa yang saya cari dalam hidup saya ini; kok ya sampai bela-belain pindah terminal ganti pesawat dan antre lagi dari nol. Pertanyaan pertama menempatkan diri saya sebagai outsider. Pertanyaan kedua jelaslah dengan perspektif insider. Dua perspektif pertanyaan itu tentu membawa sudut pandang dan jawaban berbeda, dan cara bersikap dan bertindak yang berbeda.

Teks bacaan utama hari ini, meskipun ceritanya mirip dengan cerita kemarin, menyodorkan dua perspektif yang direpresentasikan oleh sapaan Yudas dan murid-murid lainnya. Ketika Sang Guru menyodorkan intuisinya mengenai orang dekat yang akan menyerahkannya pada otoritas keagamaan, reaksi mereka berbeda. Murid-murid lainnya bertanya,”Bukan aku kan ya, Tuhan?” sementara Yudas bertanya, “Bukan aku ya, Rabi?”
Sekadar mengingatkan, kalau Anda tak mau jatuh dalam anakronisme, seperti saya singgung dalam posting Jumatan lalu, sebaiknya tidak memahami sapaan “Tuhan” di situ sebagai kata ganti “Allah” seakan-akan Tuhan = Allah. Anda perlu pertimbangkan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Apa boleh buat, saya tidak punya otoritas untuk mengganti terjemahan Kitab Suci, tetapi minimal saya berusaha menjelaskan kepada Anda bahwa kata Tuhan di sini lebih dekat dengan sebutan Gusti dalam bahasa Jawa. Anda tak mungkin menyebut senior Anda dengan sapaan Gusti jika Anda tak menerima statusnya sebagai bangsawan keraton. Artinya, sapaan itu melibatkan sikap dan keyakinan tertentu bahwa yang Anda sebut Gusti itu memang berstatus bangsawan. Dengan kata lain, Anda hidup dalam sistem kepercayaan tertentu.

Orang lain bisa saja ikut-ikutan menyapa ‘Gusti’ tetapi sapaan itu tak lebih dari bentuk kesopanan atau mungkin basa basi saja. Mereka tetaplah outsider. Itu mengapa saya tak pernah sewot jika orang lain memanggil tetangga saya atau saya sendiri dengan sebutan “Bapak Romo” atau “Bapak Pastor” dan sejenisnya. Saya baru bereaksi jika menyusul pertanyaan “Istri Bapak Romo tidak ikut?” Barangkali saya akan jawab “Sedang belanja di Sydney” atau “Sedang S3 di Hong Kong.”
Yudas menyapa gurunya dengan sebutan ‘Rabi’ dan dalam konteks persahabatan mereka, sebutan itu merepresentasikan perspektif outsider. Yudas menempatkan dirinya sebagai outsider dan perspektif itu membuatnya tak punya keterlibatan dengan proyek gurunya; atau bisa jadi, ia bahkan tidak paham proyek gurunya; atau lebih parah lagi, ia paham proyek rabi itu dan terang-terangan menentangnya.

Semoga Anda dan saya dapat menghidupi agama sebagai insider, dan tidak hanya menjadi outsider belaka. Perspektif itu memungkinkan Anda dan saya lebih empatik terhadap apa saja yang berbeda. Amin


HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
16 April 2025

Yes 50,4-9
Mat 26,14-25

Posting 2023: SIM
Posting 2020: Keranjang Gantung
Posting 2019: Serangan Fajar

Posting 2018: Notorious Seto

Posting 2017: Iman Oportunis

Posting 2016: Mari Berkhianat

Posting 2015: Faith: Always Inclusive

Posting 2014: Wani Piro: Betraying The Wisdom

Previous Post
Next Post