SIM

Sebelum kisah perjamuan terakhir, penulis Matius menuturkan sebuah kisah pengkhianatan, yang, seperti sudah saya bilang [kapan ya?], tak perlu dijadikan landasan untuk memberi label pengkhianat kepada Yudas Iskariot kecuali jika pemberi label mengaku diri sebagai pengkhianat. Ini adalah kisah bagaimana kemunafikan membuat orang menjungkirbalikkan prioritas nilai. Detail kisahnya bisa macam-macam, bergantung pada informasi apa yang bisa diperoleh, tetapi kemunafikan mewartakan oposisi terhadap yang baik [dengan cara mewartakan yang baik-baik itu].

Mengapa kemunafikan?
Guru dari Nazareth ini, oleh penulis Matius, dikisahkan sudah tahu siapa yang akan menyerahkan dirinya. Ia sadar betul akan identitas dirinya, tetapi juga dia yang beroposisi dengannya. Penulis Matius ini juga mengisahkan bahwa para pengikutnya satu per satu menanyai dirinya, jangan-jangan orang yang dimaksud guru mereka itu ya mereka sendiri. Janjane ya lucu, murid-murid ini benar-benar seperti saya, daya dhong rendah. Kalau tidak berniat menyerahkan gurunya, ya ngapain konfirmasi ke gurunya, kan?
Tapi mungkin justru itulah yang bikin pesan saya tadi klop: kemunafikan. Sebagian besar murid tidak tahu diri, tetapi terbuka pada kemungkinan yang mereka tak tahu jangan-jangan tindakan mereka bisa jadi pengkhianatan. Satu orang murid tidak tahu diri bahwa dirinya sedang dalam proses berkhianat dan berlagak seperti murid lain ikut-ikut bertanya.
Bagusnya, Sang Guru itu mengafirmasi: kamu sudah mengatakannya gitu, kok! Munafik!

Berapa yang diterima orang munafik ini? Tiga puluh perak katanya. Angkanya bisa diperdebatkan; asal angka itu juga bisa jadi bahan perbantahan. Saya berasumsi bahwa penulis Matius ini orang yang sangat akrab dengan hukum Yahudi dan mestilah di sana-sini ada transaksi hukum retaliasi (mata ganti mata, gigi ganti gigi, dst) yang menyebut angka 30. Saya mengambil angka itu dari Kitab Keluaran yang menuturkan bagaimana prosedur keadilan jika orang yang memelihara lembu mendapati kelakuan lembunya bikin celaka orang. Kalo’ seekor lembu menanduk orang sampai mati, pasti lembu itu dirajam sampai mati, tapi dagingnya tak boleh dikonsumsi. Pemiliknya bebas dari hukuman. SIM L (Surat Izin Memiliki Lembu) tidak ditilang. Tapi, kalau lembu itu jebulnya sering menanduk orang dan pemiliknya sudah diperingatkan tapi tak mau menjaganya dan lembu itu menanduk orang sampai mati, lembu itu harus dirajam sampai mati dan pemiliknya otomatis kehilangan SIM LYI (SIM Lembu Yang Itu) sekaligus SIM N (Surat Izin Memiliki Nyawa). Mati kowe!
Nah, kalau lembu itu menanduk seorang budak, maka pemiliknya harus membayar tiga puluh syikal perak kepada tuan budak, SIM LYI juga dicabut. SIM N masih bisa dipegang.

Tiga puluh syikal perak jadi harga untuk budak yang tertanduk lembu. Budak, yang, mengerikannya, pada zaman now diganti dengan istilah yang mentereng dan bisa diperdagangkan entah legal atau ilegal, terluka dihargai 30 syikal perak. Saya tak ambil pusing kalau dikonversi ke rupiah berapa. Saya lebih concern pada pribadi manusia yang direduksi sebagai budak: sangat remeh. Terluka pula. Jadi lebih remeh!

Dengan harga itulah Yudas Iskariot menyerahkan Sang Guru, yang tidak bisa disebut sebagai budak Allah. Hamba Tuhan mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Hamba Allah hidup dalam cinta dan keputusannya tidak pernah dihargai dengan angka 30 tadi.
Sayangnya, dalam perspektif kisah ini, kemunafikan mestilah mengorbankan hal besar demi hal remeh:
menebar sensasi yang menipu pesona,
menanam dambaan yang mengancam harapan,
mengumbar pinta yang memudarkan cinta,
memupuk cita yang melumpuhkan jiwa.

Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu yang sungguh memuaskan jiwa kami di tengah aneka kemunafikan drama hidup. Amin


HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
5 April 2023

Yes 50,4-9
Mat 26,14-25

Posting 2020: Keranjang Gantung
Posting 2019: Serangan Fajar

Posting 2018: Notorious Seto

Posting 2017: Iman Oportunis

Posting 2016: Mari Berkhianat

Posting 2015: Faith: Always Inclusive

Posting 2014: Wani Piro: Betraying The Wisdom