Jelek-jelek gini, saya pernah ikut Pramuka, meskipun cuma sampai Penggalang dan SKU SKK saya gak banyak-banyak amat. Entah mengapa, yang saya ingat malah peristiwa tukar kado sewaktu status saya Siaga kelas 4 SD. Aturan mainnya dulu tukar kado makanan dengan harga maksimal seribu rupiah. Saya bingung mau kasih apa. Mau beli tiramisu, istilahnya pun baru saya dengar tahun 2006. Mau beli bola-bola coklat, mosok bikin sendiri njuk dibeli sendiri. Akhirnya, saya bungkuslah makanan ringan bermerk Ch*k*, enam bungkus saja, harganya 900. Ternyata, kado saya ini besar sekali; tampaknya itu kado terbesar dalam acara kami, tapi juga mungkin teringan.
Pada momen tukar kado itulah saya tersenyum-senyum sendiri setelah membuka kado yang saya terima. Kecil, tapi lebih berat dari kado yang saya berikan. Tahukah Anda apa isinya? Pasti tidak, karena belum saya buka. Setelah saya buka, barulah Anda tahu bahwa kado yang saya terima itu merknya ayam goreng K******y! Itu harganya dua kali lipat dari anggaran yang saya keluarkan!
Memang begitulah semestinya kado: diberikan secara cuma-cuma. Maksud saya, ada teman saya yang memberikan seribu rupiah secara cuma-cuma; saya tak tahu apakah dia mendapat kado dari saya. Pokoknya, saya untung, teman saya itu juga gak rugi; pun kalau dia sudah terlanjur bikin stadion wkwkwkwkwk. Eh, jangan mencampuradukkan stadion dengan politik dhing ya, karena sudah terlanjur campur.
Saya sisipkan kata-kata Paul Ricoeur waktu membahas soal mutual recognition (mboh apa kuwi): itu bak tukar kado, bukan tukar tempat. Dalam relasi antaragama, misalnya, itu bisa berlaku baik: agama-agama itu mestinya bertukar kado, bukan tukar tempat.
Akhir teks bacaan hari ini menyodorkan ketidakpahaman Petrus terhadap gurunya, dan dari ketidakpahamannya akan makna kemuridan itu ia berkoar-koar bahwa ia akan menyerahkan nyawa demi gurunya. Saya kira, Guru dari Nazareth itu senyum-senyum prihatin: lagakmu Pet kayak tau aja maksud menyerahkan nyawa!
Betul, dalam rentang sekian ribu tahun, orang Kristen bahkan mungkin menangkap bahwa juru selamat mereka ini menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabatnya, tetapi itu ditangkap dengan kacamata seperti yang dipakai Petrus: berani mati!
Ya ada benarnya sih, tetapi bukan itu poinnya. Kemarin saya singgung die teure Gnade alias the Costly Grace yang disodorkan Bonhoeffer: menjadi mahal karena mendorong orang terlibat dalam pergumulan hidup yang bisa berkonsekuensi kematian. Akan tetapi, itu tidak mengatakan bahwa menjadi murid mesti menyerahkan diri, mesti mati. Itu tak usah jadi murid, semua orang akan mati!
Penulis teks hari ini memandang hidup Guru dari Nazareth sebagai hadiah: ia menghadiahkan dirinya, memberikan nyawanya bukan dalam arti menghentikan hidupnya, melainkan justru memberi nyawa bagi hidup orang lain. Jadi, gitu ya Pet, gak usah berlagak berani mati, tapi camkanlah pesan Guru itu: hiduplah dalam saling cinta sampai kepenuhannya. Risikonya jelas: pengkhianatan itu bisa terjadi bahkan dalam lingkaran dekat (atau justru karena orang dalam sendiri sehingga disebut pengkhianatan?). Bisnismu bukan apakah orang akan berkhianat atau tidak, melainkan apakah engkau bisa menjadikan hidupmu, dirimu sebagai kado yang membawa kehidupan semakin baik bagi semua. Gitu ya, Pet!
Tuhan, mohon rahmat supaya kami sungguh menjadi berkat yang membawa cinta-Mu bagi semakin banyak orang. Amin.
HARI SELASA DALAM PEKAN SUCI
4 April 2023
Posting 2020: Berpikir Jurdil
Posting 2019: Halo Pengkhianat
Posting 2018: Jujur Ayam Berkokok
Posting 2017: Sportivitas Kerohanian
Posting 2016: Teman Tapi Menelikung
Posting 2015: Faith: Personal, Not Private
Posting 2014: The Way Of The Wisdom
Categories: Daily Reflection