Berpikir Jurdil

Sejak buyut saya masih hidup, saya tidak pernah makan mentah-mentah menu ‘berpikir positif’ karena tendensi manipulatifnya. Saya tidak mengatakan bahwa ‘berpikir positif’ itu negatif atau manipulatif, tetapi pada sebagian kasus, ‘berpikir positif’ bisa jadi manipulatif karena menghilangkan apa saja yang berbau negatif, entah pikiran, perasaan, perkataan, atau perbuatan. Lalu, orang bisa juga mengandalkan kekuatan sugesti. “Kamu bisa” adalah sugesti populer yang hendak menekankan subjek sembari menganggap faktor lain lesap atau lenyap. Saya lebih suka slogan pemilu “jurdil” alias jujur dan adil. Maka, “kamu bisa” pun sewajarnya diletakkan pada proses orang berikhtiar, lebih daripada menunjuk hasil untuk memberi sugesti positif.

Dengan demikian, saya menerima anjuran ‘berpikir positif’ sejauh prosesnya jujur dan adil. Landasan saya adalah narasi teks bacaan hari ini, yang menyodorkan dua contoh pengkhianat: Petrus dan Yudas Iskariot. Yang menarik ialah bagaimana terhadap pengkhianat yang satu, yaitu Yudas, teman-temannya berprasangka positif. Begitu sekurang-kurangnya nuansa yang saya tangkap kalau orang mengutarakan ungkapan,”Kita positive thinking aja.” Teman-temannya menyangka Yudas pergi untuk mempersiapkan keperluan perjamuan atau untuk memberikan sumbangan kepada orang miskin. Padahal, kalau mau jurdil sedikit, mereka bisa bertanya kepada Yudas mau ke mana. Jebulnya, dia menjalankan skenario jahat, yang barangkali juga tidak sepenuhnya dia ketahui sendiri.

Tentu saja, seperti saya tak menelan mentah-mentah ‘berpikir positif’, saya tak mengatakan bahwa berpikir jurdil itu mutlak. Orang perlu jujur pada perasaannya dan perasaan orang lain, tetapi bisa jadi kejujuran itu berujung pada malapetaka. Dua maling jujur butuh makan dan karena tak adil, yang satu bisa membunuh yang lainnya. Pun jika mereka saling jujur dan adil, kriteria keadilannya bisa jadi sektarian: adil menurut ukuran orang seprofesi, sekelas, seagama, sesuku, sebangsa, dan seterusnya. Memang itu bisa dipecahkan dengan sains, tetapi jurdil dengan tolok ukur sains tetaplah mengandalkan indra. Padahal, hidup ini jauh lebih luas daripada kenyataan yang bisa diverifikasi dengan indra. Dengan demikian, bahkan berpikir jurdil pun tetap perlu terbuka atau punya keterarahan pada yang transenden, yang mengatasi keterbatasan rasionalitas manusia.

Baik berpikir positif maupun berpikir jurdil mendapat peneguhan dari narasi utuh dua tokoh pengkhianat dalam bacaan hari ini. Berpikir positif tidak menyangkal kesalahan orang; tetap perlu dikatakan bahwa ada kesalahan dalam pengkhianatan, tetap perlu ditunjukkan di mana negatifnya, kekeliruannya, dan karenanya orang sewajarnya meminta maaf. Selanjutnya, dan ini yang tak kalah penting, orang mesti memilih jalan mana yang akan ditapakinya. Petrus move on. Yudas abortif. Pada hidup Petrus orang bisa melihat bagaimana cinta Allah memungkinkan transformasi hidup pengkhianat. Pada hidup Yudas, sebaliknya, cinta Allah ditolak dan Yudas memilih ‘aborsi’ dirinya sendiri.

Menolak cinta Allah, rupanya bukan properti Yudas sendirian. Petrus juga punya. Saya kira Anda pun punya, seperti juga saya. Dengan modal berpikir jurdil, lebih tepatlah manusia memilih move on dalam keterbukaan terhadap Yang Transenden. Covid-19 membantu orang beragama untuk menyelisik seperti apa terbuka terhadap Yang Transenden.
Tuhan, mohon pencerahan-Mu atas kealpaan kami menerima cinta-Mu, kekuatan untuk move on dalam kasih-Mu
. Amin.


HARI SELASA DALAM PEKAN SUCI
7 April 2020

Yes 49,1-6
Yoh 13,21-33.36-38

Posting 2019: Halo Pengkhianat
Posting 2018: Jujur Ayam Berkokok

Posting 2017: Sportivitas Kerohanian

Posting 2016: Teman Tapi Menelikung
 

Posting 2015: Faith: Personal, Not Private

Posting 2014: The Way Of The Wisdom