Konon di salah satu kota di Jepang, untuk mengucapkan terima kasih ke pengendara lain yang memberi kesempatan kepadanya untuk berbelok dulu, si pengemudi mengaktifkan lampu hazard mobilnya untuk beberapa detik setelah berbelok. Tentu, malah repot kalau dia harus berhenti lalu turun dari mobil dan membungkukkan badan ke arah pengemudi lain yang baik hati.
Di kota saya tinggal ini, belakangan ada tren yang mungkin sudah agak lama tapi saya baru sadar. Alih-alih menyalakan lampu hazard untuk sekian detik, untuk berterima kasih, si pengemudi membunyikan klakson pendek. Maksud saya, bunyinya thit atau thot, bukan thiiiiiiit atau thoooooot gitu. Kalau vokalnya diganti u, jadi lain perkara. Mungkin ada masalah dengan pencernaan.
Saya biasanya menyodorkan jempol atau lima jari ke arah pengemudi yang baik hati memberi jalan kepada saya. Tentu, pengandaiannya pengemudi itu bisa melihat ke arah saya. Kalau tidak, ya dalam hati saja saya mbatin matur tengkyu.
Sempat latah juga sih suatu kali saya bunyikan klakson kalau diberi jalan oleh pengemudi mobil lain. Akan tetapi, saya pikir, ngapain? Saya tidak memerlukannya untuk keselamatan berkendara dan tidak juga hendak take over kendaraan di depan saya. Belum lagi, untuk menghasilkan bunyi thit yang singkat tadi, saya mesti memukul kemudi (soalnya kalau saya pijat pakai jempol bunyinya theeet gitu). Nek airbagnya mencolot njuk piye? Atau bisa jadi itu malah merusak komponen dalam kemudi. Pokoknya, gak usah latah klakson deh; apalagi di perempatan jalan begitu lampu hijau menyala, ngopo jal? Ya biar yang paling depan segera maju, gak mainan hape aja. Segera maju mbahmu! Memangnya Garuda Pancasila?
Tapi ngopo je, Rom, bahas klakson? Kamis Putih ini!
Ya justru karena Kamis Putih itu, jangan bunyikan klakson!😂
Mari balik ke konsensus orang Jepang tadi: menyalakan hazard sebentar untuk matur tengkyu. Dua hari lalu saya bikin posting berjudul Kado. Tahukah Anda logika yang sama di balik dua aktivitas yang baik itu: tukar kado, matur tengkyu kepada pemberi kebaikan?
Yes, betul! Anda memang gini!
Dua-duanya memuat sifat resiprokal, saling berbalas, saling memberi ganjaran. Nah, dalam teks bacaan untuk Kamis Putih ini juga ada perintah yang menunjukkan sifat resiprokal itu: jadi jika aku membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu, seperti sudah kuteladankan bagimu.
Tapi, daya dhong rendah saya ini bikin saya bertanya-tanya: lha teladan Yesus ini apa? Beliau ini kan memberi contoh membasuh kaki, bukan saling membasuh kaki, yekan? Artinya, blio tidak minta murid-muridnya mengandalkan prinsip resiprositas. Dia gak bilang bahawa prinsip itu jelek atau keliru, tetapi mengajak orang untuk beriman secara lebih mendalam lagi. Tukar kado ya baik saja, tapi prinsip resiprositas bisa jadi mengaburkan makna kado sendiri. Prinsip gotong royong juga oke, tapi bukan tanpa risiko mengurangi makna kemurahan hati [atau kemurahhatian sih?].
Kalau begitu, sepertinya yang dimaksud Sang Guru itu bukan resiprositas dalam arti sempit A-B B-A, melainkan resiprositas dalam konteks luas manusia sebagai makhluk: A-B B-C C-D D-E dan seterusnya. Pay it forward, katanya.
Lah, berarti si A ini cuma memberi dong, Rom? Mana tahan? Apa bisa terus-terusan memberi tanpa mengharapkan ganjar[an]?
Betul, tapi Anda gak usah berlagak diri sebagai A ya. Memangnya Anda ini daun pohon beringin atau alpukat yang menyuplai oksigen ke tetangga?
Tapi okelah, andaikan Anda ini daun sledri atau mungkin lebih tepatnya tomat, apa iya Anda meminta tetangga-tetangga itu ngendon terus di depan Anda untuk tukar dengan karbondioksida dari hidung mereka? Enggak, kan? Malah capek untuk tetangga dan Anda sendiri, kan?
Bukankah lebih rileks kalau Anda biarkan saja oksigen keluar dan dihirup tetangga-tetangga, dan setelah itu, biar saja mereka mau kasih zat asam arangnya ke siapa atau ke mana, kan?
Di situlah problemnya. Anda bukan daun pisang atau pepaya, persis karena Anda punya pikiran, angan-angan, harapan, idealisme, dan sejenisnya, yang membuat Anda beranggapan bahwa hidup ini mesti berpijak pada resiprositas, saling silang, saling toleran, saling bantu, saling memaafkan, dan seterusnya.
Sekali lagi, resiprositas itu baik, tetapi bisa mengaburkan makna kado. Trus, bisa juga bikin capek ati kalau dijadikan patokan karena ujung-ujungnya orang jatuh pada harapan akan balas budi, balas jasa, balas dendam, balas ganjar[an], dan hitung-hitungannya jadi njelimet. Sudah capek-capek latihan sekian tahun, njuk batal. Dah dibela-belain pamer ke tetangga jadi bintang kampung, njuk kampungnya disegel cuma dikasih satu bintang. Sudah banting tulang ‘mendidik’ anak dengan bantuan korupsi sekolah ke luar negeri, jajan produk asing, jebulnya anaknya ikut-ikutan jadi koruptor.
Kamis Putih selalu menawarkan cinta-tanpa-syarat. Fokusnya pada melihat kepenuhan cinta dalam hidup dan membagikannya sebagai hadiah, dalam bahasa Perancis, le don. Apa ganjar[an] pembagian itu? Let it go. Kalau di luar dugaan dan tak sesuai dengan harapan atau janjinya, let it go juga; dalam bahasa Perancis, le pardon! Mungkin, ketulusan cinta itu bisa ditengarai dengan le don dan le pardon… hanya memberi tak harap kembali, seperti kasih ibu sejati.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin tulus menghidupi cinta-Mu. Amin.
HARI KAMIS PUTIH
6 April 2023
Kel 12,1-8.11-14
1Kor 11,23-26
Yoh 13,1-15
Posting 2021: Tanpa Syarat
Posting 2020: Wajah Allah
Posting 2019: Mbok Sudahlah, Wo’
Posting 2018: Bukan (Cuma) Merendah
Posting 2017: Pemimpin Retorik Doang?
Posting 2016: Krisis Bahasa Cinta
Posting 2015: Faith in The Dark
Posting 2014: Kamis Putih: Perayaan Cinta
Categories: Daily Reflection