Pada tahun-tahun belakangan ini saya mesti membiasakan telinga saya. Pertama, untuk dipanggil dengan sebutan ‘Opa’ (setelah sebelumnya terbiasa dengan sebutan ‘Pakdhe’) dan memberikan respon secara verbal terhadap ungkapan ‘I love you Opa’ yang dilontarkan cucu yang luar biasa pethakilannya. Sejujurnya, ungkapan itu paling banter saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Saya tidak pernah mengatakannya bahkan kepada bapak simbok karena yakin ada beragam cara mengungkapkan “I love you” tanpa menggunakan kata-kata itu. Tak perlu saya jelaskan ungkapan semacam “Kabari ya kalau sudah sampai rumah” atau “Kapan-kapan kita mesti ke sana” atau “Jangan ngebut-ngebut ya” dan sebagainya. Tidak ada kata cinta tetapi substansinya bisa hadir di situ. Ungkapan itu juga tidak harus diartikan secara letterleijk (tidak boleh ngebut atau harus berkabar, misalnya) tetapi bisa jadi muncul sebagai harapan dari kedalaman hati penuturnya.
Pada hari ini, liturgi Gereja Katolik mengingat “I love you” yang diungkapkan Yesus dalam tindakan pembasuhan kaki. Ini bukan praktik adat Yahudi membasuh kaki tamu sebelum masuk rumah (karena terjadinya di tengah perjamuan); juga bukan sekadar teladan kerendahhatian (karena pembasuhan kaki juga tidak identik dengan merendah-rendahkan diri). Sudah saya singgung di posting terdahulu mengenai pakaian yang dikenakan Yesus untuk pembasuhan kaki: mengambil posisi budak bukan semata untuk bikin imaji merendah-rendahkan, melainkan untuk membongkar logika transaksional dalam relasi cinta nan tulus.
Para murid, yang diwakili Petrus, tidak paham tindakan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus. Anda dan saya, mungkin juga tidak, tetapi perkenankanlah saya merujuk pertanyaan Yesus kepada Petrus di bagian lain “Apakah engkau mencintai aku?” yang dijawab secara afirmatif. Respon Petrus kepada Yesus itu diikuti mandat yang berarti “Kalau engkau mencintai aku, gembalakanlah domba-dombaku.” Di situ, mandat ‘saling membasuh kaki’ tidak perlu diartikan sebagai tindakan transaksional, tetapi perlu diletakkan dalam bingkai relasi murid dan guru mereka. Kalau mereka mencintai Yesus, cinta itu justru mesti diwujudkan dengan saling membasuh, diarahkan kepada yang lain, bukan kepada guru mereka yang memberi mandat itu.
Dengan demikian, pay it forward lebih cocok sebagai perspektif untuk memahami peristiwa Kamis Putih: “I love you, Lord” baru bermakna jika penuturnya mengungkapkan itu dalam tindakan yang berdampak bagi kepentingan bersama: senyuman, sapaan, ungkapan positif, bantuan, waktu kualitatif, dan sebagainya. Memang sih, hal-hal seperti itu bisa juga ditafsirkan secara keliru oleh orang yang paham cintanya sangat sempit, tetapi pada prinsipnya, si penutur ‘I love you’ bebas memilih tindakan yang sekurang-kurangnya, meskipun tidak mengubah keadaan seseorang, berpotensi mengubah orangnya sendiri. Kepada penderita sakit terminal, Anda dan saya tak punya jaminan untuk mengubah diagnosa, tetapi minimal kata dan gerak tubuh kita bisa mengubah si penderita sehingga punya sudut pandang baru untuk menghadapi penderitaannya. Yang begini ini tidak mungkin ada di luar konteks ‘I love you.’
Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu supaya ujung pelayanan kami adalah kemuliaan-Mu dan sesama. Amin.
HARI KAMIS PUTIH
17 April 2025
Kel 12,1-8.11-14
1Kor 11,23-26
Yoh 13,1-15
Posting 2024: Angèl di M.
Posting 2023: Ganjar[an]
Posting 2022: Tanpa Syarat
Posting 2020: Wajah Allah
Posting 2019: Mbok Sudahlah, Wo’
Posting 2018: Bukan (Cuma) Merendah
Posting 2017: Pemimpin Retorik Doang?
Posting 2016: Krisis Bahasa Cinta
Posting 2015: Faith in The Dark
Posting 2014: Kamis Putih: Perayaan Cinta
