Belakangan ini ada wacana mengenai ijazah pada saat saya sedang menunggu pembagian ijazah. Ndelalahnya, setelah tiba harinya, saya tak bisa mengambilnya juga. Semoga besok saya bisa mengambilnya dan saya yakin ijazah yang saya ambil itu asli dan tidak mungkin jadi bahan pergunjingan. Kurang kerjaan amat menggunjingkannya karena teman angkatan saya masih hidup semua dan masih tersimpan foto pasca ujian disertasi dan lain-lainnya. Tentu saja, alasan sebenaranya bahwa ijazah saya tak akan mungkin jadi pergunjingan ialah karena ijazah itu tidak saya pakai untuk melamar masuk partai atau untuk memenuhi syarat calon walikota, gubernur, dan presiden.
Andai saja ada ijazah yang bisa diberikan kepada para murid Yesus dari Nazareth, bisa jadi tak ada murid yang mendapatkan ijazah sebelum kematian Guru dari Nazareth itu. Kenapa? Karena mereka tak memahami kebangkitan yang sudah kerap disinggung oleh Guru mereka. Kisah yang disodorkan dalam teks bacaan utama hari ini menunjukkan bagaimana para murid luput mengenali Guru mereka sendiri meskipun sebetulnya mereka punya clue bahkan sebelum Guru mereka itu memecah-mecahkan roti sebagaimana biasa dilakukannya sebelum kematiannya.
Yang mereka butuhkan memang bukan ijazah, melainkan keterampilan untuk mengenali bagaimana Guru mereka itu tetap hidup meskipun mesti melewati fase yang menurut ukuran cara berpikir saat itu sudah buntu. Menariknya, pengenalan itu pun bersifat transitory: begitu mereka sadar akan kehadiran Guru mereka yang sudah melewati fase buntu syeol itu, indra mereka tak mampu menangkap kehadiran itu sehingga diterjemahkan dengan kata ‘lenyap’ dalam bahasa Indonesia [padahal dalam bahasa Inggrisnya invisible]. Selain itu, pengalaman macam ini rupanya tak terjadi dalam konteks privat yang membuat individu jadi besar kepala bin ge er seakan-akan ia bisa mengklaim pengalaman ilahi itu dengan persepsi dan gejolak batinnya sendiri: orang butuh afirmasi, input, cross-check dari yang lain. Pokok yang membutuhkan acuan untuk afirmasi itu adalah penjelasan Kitab Suci. Penjelasan Kitab Suci yang mengobarkan hati dan mencerahkan budi rupanya menjadi clue bagaimana Yang Ilahi hadir.
Nah, apakah ijazah bisa mengobarkan hati dan mencerahkan budi, saya tidak tahu; tetapi jika saya melihat preview ijazah saya sendiri, saya tahu betul ijazah itu adalah fiksasi pergumulan bertahun-tahun (jangan tanya berapa tahun persisnya) yang melibatkan begitu banyak pihak yang mencintai saya dengan cara mereka masing-masing dan dengan begitulah juga saya menyadari bahwa Allah memang emanuel bahkan meskipun tampak absen.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan hati dan budi supaya kami mengenali Sabda-Mu di tengah hingar bingar hidup kami. Amin.
RABU DALAM OKTAF PASKA
23 April 2025
Posting 2020: The Warriors
Posting 2019: Kebangkitan Adat
Posting 2018: Karyawisata Kebangkitan
Posting 2017: Jumpa Allah Langsung? Gombal!
Posting 2016: Target Mengalahkan Ahong
Posting 2015: Misa Itu Penting Gak Sih?
Posting 2014: What You Leave In Others
