Karyawisata Kebangkitan

Saya yakin Anda belum pernah ke Prambanan lewat pintu khusus bersama seseorang yang begitu dihormati seluruh staf konservasi di situ, dari yang berjabatan kepala sampai jempol kaki [karena rupanya mereka semua adalah murid dari seseorang tadi]. Kalau pernah, berarti keyakinan saya tadi salah; dah gitu aja, soalnya memang bukan itu yang hendak saya sampaikan.

Yang hendak saya sampaikan tentu saja hal yang terkait dengan teks bacaan hari ini, suatu kisah perjalanan pulang dua murid si guru dari Nazareth yang kemudian jadi titik awal perjalanan hidup baru mereka sebagai pewarta kabar gembira. Perjalanan yang semula bernuansa disorientasi berubah jadi perjalanan berorientasi begitu jelas: menularkan warta kebangkitan; dan itulah yang saya lihat di Prambanan!

Bayangkanlah, tumpukan batu yang amburadul di Prambanan itu (dan puluhan kompleks candi lainnya di wilayah sekitar Prambanan) direkonstruksi supaya dapat diperoleh gambaran orisinal candi itu. Pengerjaannya tidak mudah dan ringan, dan butuh waktu panjang, sebagaimana dulu candi itu dibangun. Saya tidak percaya bahwa candi itu dibangun dalam semalam saja oleh Sangkuriang (tentu karena dia adanya di Jawa Barat, tak kenal Roro Jonggrang pula).

Sebagaimana Borobudur, saya kira Prambanan juga dikerjakan dalam hitungan beberapa dekade oleh para petani yang dengan cara bergotong royong menyumbangkan batu untuk dibuat candi di sela-sela pekerjaan pokok mereka. Yang mengundang pertanyaan ialah mengapa orang-orang modern bersusah payah merekonstruksi candi yang bubrah itu. Mereka mesti mengukur kelembaban batu, karakter batu, menjodohkan batu, teknik interlocking antar batu tanpa semen, telor, atau lem untuk prakarya! Rempong euy.

Andaikan ketemu bentuk orisinal candi itu, njuk ngopo? Orang toh datang ke sana berjubel-jubel untuk berswafoto, bukan? Labelnya boleh study tour, karyawisata, field-tripmbolang, atau apalah. Akan tetapi, siapa sih yang datang ke situs candi zaman Majapahit atau Singosari untuk belajar sesuatu dari situ? Ya, tentu ada sih, terutama bulé-bulé yang punya kesukaan belajar. Mereka sudah baca-baca dulu sebelum mengeksplorasi situs yang mereka kunjungi. 

Saya beruntung karena ke sana bersama arkeolog ahli dan dari penuturannya saya tahu banyak hal. Dari pengetahuan yang banyak itu, saya mengerti juga inner quest orang dari dulu sampai sepanjang segala abad: untuk connect dengan yang transenden dalam hidup yang serba biasa ini. Njuk di mana warta kebangkitannya je, Mo? Prambanan atau Plaosan jelas bukan simbol kristiani! Kedua candi itu merepresentasikan kultur Hindu dan Buddha. Betul, tetapi justru di situlah persoalannya: apakah kebangkitan itu mesti dilabeli kristiani? Apakah kalau iklan menyorongkan ‘Indonesia bangkit’ itu berarti iklannya orang Kristen? 

Andai saja cura personalis dihidupi, orang akan paham bahwa Hindu, Buddha, Kristen, dan lain-lainnya itu hanyalah agama heuristik (butuh Dilan untuk membaca posting itu, tetapi kalau dimengerti bisa sangat mencerahkan). Di Prambanan, saya melihat orang-orang yang berjibaku untuk menunjukkan kepada dunia bahwa orang zaman now perlu rendah hati untuk belajar dari orang jadul, bukan demi romantisme, apalagi konservatisme, melainkan justru untuk semakin membuka diri pada keluasan perspektif untuk memahami misteri peziarahan hidup manusia.

Ya Allah, mohon rahmat kerendahhatian. Amin.


RABU DALAM OKTAF PASKA
4 April 2018

Kis 3,1-10
Luk 24,13-35

Posting 2017: Jumpa Allah Langsung? Gombal!
Posting 2016: Target Mengalahkan Ahong

Posting 2015: Misa Itu Penting Gak Sih?

Posting 2014: What You Leave In Others