When life is a hard game, don’t you blame. It’s a chance to arise your arm. Let your spirit be brave… You never surrender. All the warriors in this world join the passion of this master of soul.
Begitulah cuplikan lirik dari theme song episode The Legend of Bruce Lee. Tentu the master of soul di situ adalah Bruce Lee, dan wajarlah dipertanyakan bagaimana mungkin sosok yang akrab dengan olah raga itu diberi julukan the master of soul.
Kalau saya tidak salah menangkap, julukan itu sejalan dengan filosofi Yin-Yang dan jika orang memiliki jiwa besar dan rela berkorban, ia akan menerjemahkan filsafat itu dalam raganya. Itulah yang disebut sebagai spiritualitas atau kerohanian yang saya singgung dalam posting This is called spirituality. Dengan modal ini, Bruce Lee menyerap apa saja yang diperlukan untuk mengembangkan kualitas hidupnya sebagai kung fu master: karate, tinju, jujutsu, judo, anggar, dan entah apa lagi. Tidak hanya menyerap, Bruce Lee juga membagikan rahasia kemampuannya kepada lawan-lawannya.
Teks bacaan hari ini mengisahkan murid-murid Guru dari Nazareth yang menyerah pada kematian. Mereka mudik karena guru mereka sudah mati. Mereka pulang kampung karena tak ada hal yang bisa mereka kerjakan di ibu kota. Ini bukan perkara ekonomi lagi, melainkan perkara eksistensial sehingga balik ke kampung menjadi opsi terbaik bagi mereka untuk kembali ke hidup lama yang sudah sekian waktu mereka gumuli. Tentu lebih mudah karena mereka sudah punya pengetahuan dan kemampuan, tak perlu melakukan inovasi atau transformasi.
Dari perspektif tertentu, bisa dikatakan bahwa Guru dari Nazareth itu gagal menularkan jiwanya kepada para muridnya. Bukan kegagalan mutlak memang, karena pada akhirnya murid-murid itu kembali ke Yerusalem. Begitulah juga filosofi Yin-Yang bisa digambarkan: dalam keputusasaan atau kebuntuan yang membengkak, ada secercah titik yang memungkinkan terang itu perlahan-lahan mengembang. Pengandaiannya, orang yang berjiwa besar dan rela berkorban tadi menangkap titik itu, baik hitam maupun putih.
Bruce Lee melihat titik itu sebagai jiwa yang terbuka, yang tak pernah menganggap dirinya selesai, juga sebagai kung fu master. Terlihat juga dari bagaimana Bruce Lee memegang prinsip inklusifnya, mengatasi tendensi orang untuk menjadi chauvinis, rasis, eksklusif, sektarian, dan sejenisnya. Betul bahwa Bruce Lee muda menampakkan arogansi yang mengundang kemarahan para ahli seni bela diri lainnya, tetapi sebagaimana filosofi Yin-Yang dihidupinya, kerendahhatian Bruce Lee terlihat dari hasrat besarnya untuk belajar hidup dari apa saja dan siapa saja.
Andai saja semua orang beragama punya sikap mental seperti itu, niscaya tak muncul klaim semu kemutlakan agama. Tak ada lagi orang yang merasa diri paling Katolik, paling Kristen, paling Islam, paling Hindu, paling Buddhis, paling berkepercayaan, dan seterusnya. Lebih dari itu, seorang Katolik bisa belajar dari apa saja dan siapa saja. Seorang Muslim bisa mendalami keislamannya dari apa saja dan siapa saja. Begitu seterusnya. Sifat kesatria orang beriman terletak pada pencariannya untuk menemukan dan mewujudkan koneksi antara kekuatan Allah dan kerapuhan kemanusiaan, pada masa pandemi dan pada masa lainnya.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami berani membuat mukjizat-Mu nyata bagi kemanusiaan. Amin.
RABU DALAM OKTAF PASKA
15 April 2020
Posting 2019: Kebangkitan Adat
Posting 2018: Karyawisata Kebangkitan
Posting 2017: Jumpa Allah Langsung? Gombal!
Posting 2016: Target Mengalahkan Ahong
Posting 2015: Misa Itu Penting Gak Sih?
Posting 2014: What You Leave In Others
Categories: Daily Reflection