Seruan ‘habemus papam‘ mulai santer berkumandang tadi malam dan jelaslah umat Katolik sedunia sekarang punya pengganti Paus Fransiskus. Sayangnya, orang kebanyakan tidak melihat sosok Paus ini sebagai servus servorum Dei yang artinya hamba dari para hamba Allah. Bisa dimengerti, karena orang kebanyakan memandang dengan kategori hirarki: Paus sebagai pemimpin agama Katolik tertinggi. Bahkan ada juga yang menempatkannya sebagai raja [ya ampun]. Ironis memang; sementara Paus terpilih menghayati diri sebagai minister alias pelayan, orang-orang yang dilayani memandangnya sebagai pimpinan tertinggi.
Syukurlah, Paus baru ini mengambil nama Leo. Saya tak tahu alasan dan latar belakangnya, tetapi asosiasi saya langsung tertuju pada Paus Leo XIII, yang meletakkan pondasi ajaran sosial Gereja dengan Ensiklik Rerum Novarum pada bulan Mei 1891. Sekurang-kurangnya harapan akan reformasi sosial tidak tenggelam dan peluang untuk mewujudkan keadilan ilahi dalam dimensi konkretnya tetap terbuka.
Teks bacaan utama hari ini melanjutkan wacana lalu mengenai habemus panem vitae: kita punya roti kehidupan. Roti hidup ini diparalelkan dengan daging dan darah Yesus. Dua kata berpasangan ini mau menunjukkan aspek kebertubuhan roti hidup itu, yang jelas disalahpahami oleh orang kebanyakan melulu sebagai daging yang bisa berdarah-darah. Dalam tradisi Katolik, ini jelas terhubung dengan Ekaristi, yang oleh kebanyakan orang direduksi sebagai tindakan ritual dan oleh sebagian direduksi lagi pada momen konsekrasi saat imam mengucapkan rumusan sambil mengangkat hosti dan piala berisi anggur.
Yes, itu memang bagian sakral; tetapi dasar orang modern, cara berpikirnya sangat dikotomis: sakralitas itu diletakkan pada hosti dan anggurnya, dipertentangkan dengan orang-orang yang merasa diri tak sempurna. Itu mengapa sebagian orang berdebat mengenai realis praesentia. Yang satu ngotot bahwa Yesus sungguh hadir pada saat konsekrasi; yang lain yakin bahwa itu hanya tanda yang disepakati bersama sebagai kehadiran Yesus; tetapi keduanya sama-sama menempatkan objek sakral di ‘luar sana’ dan abai bahwa kehadiran ilahi punya kewenangan untuk mengokupasi ‘luar sana’ dan ‘dalam sini’ dan itu mengapa Yesus bolak-balik mengatakan kepada mereka yang sembuh: imanmu menyelamatkan engkau.
Roti hidup itu ada ‘di sana’ sejauh yang ‘di sini’ relate dengannya. Yang menentukan relate atau tidaknya bukan agama, suku, bahasa, tradisi, melainkan Roh Kudus yang hinggap di jendela hati setiap orang. Semoga Anda dan saya senantiasa dimampukan untuk membuka jendela hati sehingga tidak makin gelap. Amin.
JUMAT PASKA III
9 Mei 2025
Posting 2020: Miss You, God
Posting 2019: Makan Berarti Puasa
Posting 2018: Ekaristi Sumber Hidup? Tênané
Posting 2017: Insider or Outsider
Posting 2016: Table Manner-nya Agama?
Posting 2015: Ayo Cari Jalan Pulang
Posting 2014: Pertobatan Ananias dan Saulus
