Ketika Anda melihat lokasi sebagai simbol relasi, mungkin Anda sedang kasmaran, dan jika Anda memang sedang kasmaran, ada baiknya memastikan objek kasmaran Anda: benda (cuan, prestasi, agama, ideologi), orang, atau Allah. Jika objeknya adalah dua hal pertama, saya jamin, Anda punya masa ababil lebih lama karena hidup Anda akan ditentukan ‘volatilitas’ dua hal itu. Jika objek kasmaran Anda itu Allah, mungkin Anda gila. Jika betul gila, Anda tidak salah mengunjungi blog ini, karena ini memang blog orang yang kasmaran dengan Allah; dan orang yang kasmaran dengan Allah, kembali lagi ke atas: ia melihat lokasi sebagai simbol relasi.
Mari, saya jelaskan bagaimana orang-orang waras tidak melihat lokasi sebagai simbol relasi. Saya beri contoh orang-orang Katolik yang ikut upacara pemakaman. Bisa jadi teks bacaan utama hari ini dibacakan dalam ibadat pemakaman itu dan silakan buat riset kuantitatif berapa persen orang Katolik yang menangkap “rumah Bapaku” sebagai surga dan surga itu berhenti sebagai lokasi geografis. Sebanyak itulah orang Katolik yang waras.
Mengapa? Mari pikirkan halnya seperti orang waras. “Di rumah Bapaku banyak tempat tinggal. Kalau tidak, tentu aku kasih info padamu. Soalnya, aku ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Kalau nanti aku sudah ke situ, aku akan kembali dan membawamu ke situ, supaya di mana aku ada, kamu juga ada.” Manakah dari kalimat itu yang tidak merujuk lokasi? Dari kata depan dan objeknya pun sudah jelas: tempat, lokasi. Bagaimana orang waras bisa melihat secara berbeda? Ya dengan jadi gila.
Sebagian bisa jadi gila karena mengerti Bahasa Yunani. Sebagian lagi, seperti saya, gila karena percaya pada mereka yang mengerti Bahasa Yunani. Kata μονή (moné) yang berarti ruangan atau tempat itu dalam wacana penulis teks bacaan hari ini punya dimensi relasional karena berasal dari kata μένω (menó) yang adalah kata kerja ‘tinggal’ atau ‘menetap.’ Ini dipakai untuk menegaskan relasi Yesus dengan Bapanya, yang membuat Yesus bernasib seperti you knowlah. Dengan begitu, kalimat tadi hendak mengatakan bahwa apa yang dilakukan penuturnya, yaitu Yesus, sangat mungkin dilakukan juga oleh orang lain. Artinya, kalau betul dia mati, bangkit, dan naik (ke surga? kok jadi tempat lagi?), mereka yang mengikutinya pun akan mengalami hal serupa; dengan begitu mereka mendapat tempat.
Itu mengapa sewaktu Tomas yang waras itu bertanya “Kami ini tak tahu ke mana engkau pergi, njuk gimana kami tahu jalannya?” si Yesus keukeuh pada konsepnya mengenai kata kerja relasional tadi: ya akulah jalan itu. Maksudnya, kalau orang-orang waras itu melihat betul apa yang dilakukan Yesus dan dialaminya, ya sebetulnya mereka melihat jalan itu. Destinasinya bukan lokasi, melainkan cara bertindak, way of proceedings, etika yang bukan ndhasmu, dan etika macam begini, kalau gak ada relasi dengan Sang Jalan (yang tidak bisa direduksi pada Yesus historis itu) mau gimana jal?
Semoga Anda dan saya mendapat hidayah untuk menangkap posisi atau lokasi sebagai simbol relasi dengan-Nya. Amin.
JUMAT PASKA IV
16 Mei 2025
Posting 2020: Ambyar Sells
Posting 2019: Jalan Setia
Posting 2018: Hidup Jalan Bener!
Posting 2017: You’ll Never Walk Alone
Posting 2016: Mau Ngapain Eaaa…
Posting 2015: Life as A Staircase
Posting 2014: Yesus Arogan Skale’
