Individualisme

Published by

on

Individualisme mungkin jadi salah satu penyakit subsadar yang merasuk sampai sumsum tulang belakang warga dunia. A.A. Navis membuat sketsa penderita individualisme dengan sosok Haji Saleh (paralel dengan Kakek, sang penjaga surau) dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Bagaimanapun paham keselamatan orang, pokoknya keselamatan itu tertuju pada dirinya sendiri. Persetan [Persatuan Sepakbola Tanimbar?] dengan yang lain.

Bagi penderita penyakit ini, hal yang paling kentara sebagai jalan keselamatan adalah aneka manifestasi kesalehan individual: pakaian, perilaku, penampilan, kegiatan agamis. Hal-hal itu tidak jelek tetapi menjadi keliru jika diletakkan terpisah dari relasi sosial sehingga seakan-akan demi pakaian, perilaku, penampilan, dan kegiatan agamis itu orang harus abai terhadap kenyataan hidup orang lain. Lihatlah misalnya bangunan ibadat supermegah di tengah lingkungan masyarakat yang bangunan rumahnya sederhana. Anda masih bisa temukan di sana-sini makhluk yang berpenyakit individualisme ini berselfie atau wefie ria di situs yang sedang dipakai orang lain untuk sembahyang.

Pesan teks bacaan utama hari ini bisa jadi luput dari perhatian manusia berpenyakit individualisme. Salah satu kemungkinan penyebabnya ialah bahwa kata ganti orang kedua jamak yang dipakai di sini ialah ‘kamu’ alih-alih ‘kalian.’ Dengan begitu, mandat yang diarahkan pada ‘kamu’ lebih terbaca sebagai mandat kepada ‘aku’ sebagai individu. Ini jelas mengabaikan konteks awal penulisan teks ini, yang sebelumnya menyinggung soal ‘saling mengasihi.’ Tidak mungkinlah ‘saling mengasihi’ dimengerti sebagai nilai kesalehan individual. Itu sekurang-kurangnya dilakukan dua orang.

Itu artinya, juga jika dijanjikan Roh Kudus kepada para murid, Roh Kudus itu tidak muncul supaya setiap orang menjadi saleh secara individual dengan pakaian dan perilaku masing-masing, tetapi supaya kesucian itu kelihatan dalam relasi sosial, dalam lembaga pemberantas korupsi, dalam lembaga dana antara korupsi dan tidak, dalam lembaga partai besar maupun eceran, dan seterusnya. Di situ, Roh Kudus bisa bekerja jadi reminder, jadi kritikus, jadi pemberi alternatif, dan sebagainya.

Apa daya, penderita individualisme menerima kerja Roh Kudus sebagai ancaman dan bahaya. Mungkin memang itu ancaman dan bahaya bagi status quo. Akan tetapi, bisa jadi justru itulah yang berguna bagi suatu transformasi sosial. Haiya, tapi mana ada status quo yang betulan menginginkan transformasi sosial dengan slogan Indonesia Emas, misalnya? Status quo, dengan penyakit individualisme kronis tadi, memang mau Indonesia Emas, tapi untuk kelompoknya sendiri, untuk yang dulu berjasa kepadanya, yang bisa mengamankan status quonya, dan seterusnya. Alhasil, alih-alih membidik Indonesia Emas, yang diumbarnya justru aneka macam pembelaan atau pembenaran diri. Padahal, siapa sih orang yang selalu benar? [Ya status quolah, Rom!]

Semoga Anda dan saya disembuhkan dari penyakit individualisme juga dalam hidup rohani. Amin.


SENIN PASKA V
19 Mei 2025

Kis 14,5-18
Yoh 14,21-26

Posting 2020: Gratifikasi untuk Allah
Posting 2019: Beneran Cinta?

Posting 2018: Best way to find love

Posting 2017: Sendiri, Siapa Takut?

Posting 2015: Listening to The Spirit

Posting 2014: Yesus Jadi Berhala

Previous Post
Next Post