Memoria Passionis

Published by

on

Kalau Anda berada dalam posisi strategis kekuasaan dan sedikit saja Anda berbuat tidak adil berhubung dengan posisi strategis itu, korbannya bukan cuma Anda dan keluarga Anda seorang, melainkan sekian banyak warga yang nasibnya ditentukan oleh posisi strategis Anda. Saya punya rekening bank milik pemerintah. Tentu, isinya paling banyak cuma enam digit. Selain karena saya bukan beruang, saya punya krisis kepercayaan terhadap yang disebut transparansi dan konflik kepentingan di balik penggabungan BUMN. Betul, saya buta ekonomi-politik, tetapi jika saya baca berita mengenai defisit misalnya maskapai penerbangan negara dan ada wacana BUMN itu omong-omong dengan lembaga yang mengelola leburan BUMN lain, yang di dalamnya ada rekening saya itu, gimana saya gak bertanya-tanya “Itu orang ngapain dekat-dekat dengan lembaga SWF alias Sovereign Wealth Fund bin lembaga dana kekayaan negara? Mereka yang gak becus kelola BUMN kok terus minta bantuan untuk menutupi defisit lembaga SWF? Ke mana larinya itu defisit?”

Teks bacaan utama hari ini jelas tidak bicara soal lembaga dana kekayaan negara, tetapi insight dari teks ini bisa mengoreksi cara berpikir penguasa yang abai terhadap kepentingan publik dan dengan arogannya menggilas kaum lemah. Yang baru saya baca kemarin adalah wacana mengenai penulisan ulang sejarah tanpa konsultasi publik. Jika itu betul terjadi dan penulisan ulang dilakukan oleh lingkaran kekuasaan, jangan harap nama Marsinah, Munir, wartawan Udin, dan banyak nama lagi muncul dalam penulisan ulang itu. Status quo hanya mau yang baik-baik saja dan karena itu, semua yang berbau Indonesia gelap mesti disingkirkan, juga dalam pelajaran sejarah: tidak boleh ada memoria passionis, jangan sampai muncul kenangan provokatif demi keadilan sosial.

Teks memakai metafora ranting pokok anggur yang tak berbuah dan ranting seperti ini memang sebaiknya dipangkas saja. Akan tetapi, metafora ini justru persis bertentangan dengan pengabaian suara kritis Munir, misalnya, karena apa yang dibuat Munir justru menunjukkan kategori menghasilkan buah. Berbuah tidak sama dengan buah, tetapi penguasa terburu-buru hanya mau melihat buahnya.
Lha ya gimana, Rom? Mana mungkin orang bilang ranting ini berbuah kalau tidak ada buahnya? Yang kelihatan kan buahnya, hasilnya, outputnya.
Betul, tetapi metafora tidak dipakai untuk berpikir seperti itu karena manusia, meskipun bisa jadi pengangguran, bukanlah pohon anggur.

Berbuah, jika dihubungkan dengan teks sebelumnya, adalah perkara mewujudkan cinta sebagaimana kemarin sudah dibahas: cinta yang jauh dari materialisme dan individualisme. Ini adalah cinta keadilan sosial, cinta yang tak mungkin abai terhadap kaum lemah yang buta mengenai ada apa di balik Danantara, MBG, PSN, BUMN, pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati untuk mengenali kebaikan-Mu di sepanjang sejarah hidup kami, juga kegelapan yang menyelimuti tanggapan kami terhadap cinta-Mu. Amin.


RABU PASKA V
21 Mei 2025

Kis 15,1-6
Yoh 15,1-8

Posting 2020: Penting tapi Genting
Posting 2019: Markisa
Posting 2018: Absensi Allah

Posting 2017: Berdoa bagi Presiden, Mulai!

Posting 2016: Susahnya Mikir Bareng

Posting 2015: Persahabatan bagai Vacuum Cleaner

Posting 2014: Gak Usah Ngotot

Previous Post
Next Post