Manakah elemen penting diri Anda yang sekaligus merupakan hal paling rapuh? Kalau Anda sobat ambyar yang baik, tentu Anda tahu. Kalau Anda bukan sobat ambyar yang baik, mungkin Anda butuh berguru pada Betharia Sonata, pelantun lagu hati yang ambyar.🤭 Teks bacaan kedua hari ini mengindikasikan bagian penting sekaligus rapuh itu dengan metafora pohon anggur, tetapi saya ingat petani alpukat di Blitar yang mesti memotong banyak alpukatnya supaya ranting tidak patah karena beban buah alpukatnya. Betapa penting koneksi ranting dan batang, sekaligus rapuh.
Teks bacaan pertama memberi contoh elemen penting yang rapuh tadi, yang saya rangkum dengan istilah tradisi. Tidak ada agama tanpa tradisi. Akan tetapi, semestinya tradisi itu diperlakukan seperti ranting dalam metafora pohon anggur tadi: tak ada tradisi yang berbuah jika tidak terhubung dengan sumber asalnya. Celakanya, sumber asal ini malah membiarkan adanya perbedaan tradisi, suatu tendensi yang bertentangan dengan idealisme manusia yang cenderung monolitik karena gak mau ribet dengan proses pergumulan hidup.
Ceritanya, para murid dari daerah asal Yesus itu datang ke Antiokhia. Mereka menuntut pengikut Yesus di Antiokhia untuk bersunat, seperti dilakukan Yesus sendiri. Ini dibantah Paulus, yang sendirinya juga bersunat, tetapi sadar bahwa sunat hanyalah bagian tradisi bangsa Yahudi. Orang-orang dari Yudea itu seakan tak sadar bahwa Guru dari Nazareth itu datang bukan untuk meminta orang supaya bersunat, berambut gondrong, dan berjenggot! Ia datang supaya orang bertobat dan mewujudkannya dengan memerdekakan orang, terutama yang tersingkir.
Tidak mudah memberi modalitas “hanya” kepada tradisi. Sebagian menafsirkan larangan berkumpul sebagai larangan beribadat! Tak gampang juga meminta orang tidak mudik lebaran. Mesti ada yang curi-curi. Kenapa? Justru karena orang terbiasa menghidupi tradisi atau ritual ibadah tanpa hati! Tanpa hati, semua berjalan otomatis, mekanis, seturut kebiasaan yang melekat. Begitu aktivitas dihentikan, orang jadi gègèr gěnjik; bingung mau bikin apa, pokoknya bikin yang mirip-mirip dengan apa yang biasa dibikin. Yang offline dionlinekan (tapi abai terhadap mereka yang fakir kuota dan kelaparan). Hati, entah offline atau online, adalah kunci, yang tanpanya tradisi jadi gengsi. Tanpa hati, ritual dan amal pun membual.
Tadi malam kami tonton 14 Blades. Kata Qing Long (komandan pasukan elit Jin Yi Wei) saat berpisah dari gadis Qiao Hua,”Mulai sekarang, kalau kau memerlukanku, kau cuma perlu membunyikan lonceng yang ada di tanganmu, dan aku akan datang.” Qiao Hua menanggapinya,”Apa pun yang kau perintahkan padaku, aku akan melakukannya, tidak peduli apakah kau bohong padaku. Aku menunggumu.”
Apakah Qing Long berbohong? Ia menuntaskan urusannya dengan Tuo Tuo, tetapi juga ikut mati.
Qiao Hua tetap membunyikan lonceng yang ada di tangannya pada momen ia membutuhkan Qing Long, yang sudah mati. Apakah Qing Long datang? Tidak. Akan tetapi, karena hatinya, Qiao Hua mengalami kedatangan Qing Long: dalam kenangan. Qiao Hua ingat pesan ayahnya,”Anggur bukan hanya untuk menyembuhkan luka, melainkan juga mengingatkan orang pada hidup baik yang telah dilalui.”
Untuk saya yang Kristen, ini terasosiasikan pada sosok Guru dari Nazareth yang saya kenangkan dalam ritual misa. Soalnya, saya biasanya minum anggurnya juga, meskipun saya gak suka.😂
Jelas poinnya bukan pada anggurnya, melainkan pada memoria, termasuk di dalamnya memoria passionis (ingatan akan penderitaan) Allah yang berjibaku menarik orang supaya hatinya selalu terpaut pada-Nya. Di sini, ibadat bukan lagi semata ritual mengulangi gerak-gerik offline dionlinekan, melainkan ketertambatan hati makhluk kepada Allahnya dalam hidup konkretnya.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati untuk mengenali kebaikan-Mu di sepanjang sejarah hidup kami. Amin.
RABU PASKA V
13 Mei 2020
Posting 2019: Markisa
Posting 2018: Absensi Allah
Posting 2017: Berdoa bagi Presiden, Mulai!
Posting 2016: Susahnya Mikir Bareng
Posting 2015: Persahabatan bagai Vacuum Cleaner
Posting 2014: Gak Usah Ngotot
Categories: Daily Reflection