Di halaman medsos saya nongol lagi berita tahun lalu mengenai ketua MPR yang cemas karena penganut agama yang dipeluknya akan merosot karena diakuinya agama lokal yang ada di Indonesia. Prihatin saya bacanya, tetapi sudah ada relatif banyak netizen yang menyampaikan kritiknya, maka saya tak merasa perlu membahasnya.
Lha wong tak merasa perlu membahasnya kok ya malah meletakkannya di alinea awal sih, Rom? Maksudnya apa jal?🤔
Ya cuma mau mengingatkan sih kategori berpikir kuantitas itu.
Kalau cuma kategori itu yang dipakai, gimana orang mau maju dalam hidup beragama? Kalau cuma kategori itu yang dipakai, agama direduksi sebagai alat politik yang hasilnya JKT 58 atau sekarang ini KPU 44,5 dan begitu seterusnya angkanya bisa berubah-ubah. Memang bikin ênêg juga kalau mengingat-ingat bagaimana kelompok 44,5 ini sesumbar dengan membawa-bawa nama Allah: kalau 44,5 ini tak menang, tak ada lagi yang menyembah Allah! Bisa jadi yang tak menyembah Allah malah yang 44,5 itu, yang merasa benar sendiri dan mengakomodasi ujaran-ujaran intimidatif dan kekerasan?
Saya kira lebih baik dipertimbangkan ajakan Presiden RI tercinta: mari kita bersatu. Ini bukan karena beliau nomor 01, melainkan karena markisa #halah. Mari kita satu, bukan karena kita mencoblos nomor satu, melainkan karena Tuhan Yang Maha Esa itu. Tak usahlah jadi arogan sebagai pihak yang punya tafsir paling tepat dan paling benar mengenai Tuhan Yang Maha Esa itu, tetapi cukup senantiasa éling lan waspada bahwa kategori berpikir kuantitas itu membahayakan hidup beragama sendiri. Ya itu tadi contohnya, penurunan angka pemeluk agama semata dicarikan kambing hitamnya pada agama lain, bukannya mawas diri. Lha wong hidupnya sendiri gak mutu kok malah menyalahkan orang lain!
Mari kita satu, bukan karena kita mesti setuju apa saja yang dikerjakan 01, melainkan karena orang butuh liyan untuk menggapai kebenaran, untuk meningkatkan kualitas hidup, untuk mempertahankan kesatuan Indonesia yang sebenarnya rentan karena potensi tegangan pluralitasnya. Maka dari itu, persatuan ini mestinya adalah persatuan yang mengatasi aneka macam perbedaan dan lebih masuk akal dibuat jika setiap pihak menyadari diri sebagai cabang dari pusat kehidupan: Allah Yang Maha Esa tadi.
Menurut Augustinus, tak ada orang yang berpikir bahwa sebuah ranting anggur saja bisa menghasilkan sedikit buah. Dalam teks hari ini memang dikatakan bahwa mereka yang tinggal dalam Dia menghasilkan banyak buah. Akan tetapi, tidak dikatakan bahwa tanpa Dia Anda menghasilkan sedikit! Tanpa Dia, Anda tidak bisa melakukan apa-apa!
Artinya, jelas sekali: bukan soal kuantitas sedikit atau banyak, melainkan soal ketidakmungkinan orang berbuah tanpa kesatuannya dengan Allah. Dengan demikian, entah buahnya sedikit atau banyak, yang penting orang bekerja dalam kesatuannya dengan Allah.
Tanpa kesatuan dengan Allah, apa saja yang dilakukan orang hanya terukur secara kuantitatif. Lalu, kalau berhasil atau menang, dianggapnya berarti bersama Allah, sedangkan jika gagal atau kalah, berarti Allah absen. Ini jelas menyesatkan. Saya jauh lebih terkesan pada atlet yang sujud syukur atau membuat tanda salib ketika ia kalah. Sekurang-kurangnya itu menginsinuasikan kepercayaannya bahwa baik menang atau kalah, ia hidup untuk Allah. Yang penting hidup bersama Allah. Markisa. Amin.
RABU PASKA V
22 Mei 2019
Posting 2018: Absensi Allah
Posting 2017: Berdoa bagi Presiden, Mulai!
Posting 2016: Susahnya Mikir Bareng
Posting 2015: Persahabatan bagai Vacuum Cleaner
Posting 2014: Gak Usah Ngotot
Categories: Daily Reflection
Salut memang melihat para atlit yang begitu.
Menanggapi hal berkurang, kalau aku pribadi tidak terlalu perduli bahkan kadang kala diskusi membahas hal tak berarti begitu malah tercetus kata:” Yah, sepertinya itu lebih baik. Karena kalau hanya menambah bilangan tak ada gunanya. Jumlah banyak tapi ternyata hanya kosong melompong. Jadi lebih baik dia memang berada disana.”
Eh, nyambung nggak sih he he he
LikeLike
Nyambung Bu’. Iya memang semestinya tiap org beriman lbh fokus pd ‘kualitas’ berimannya sendiri.
LikeLike