Dagêlan Ilahi

Dalam bagian terakhir syair La Divina Commedia gubahan Dante Alighieri ada ayat yang berbunyi E’n la sua volontade è nostra pace. Saya bukan ahli bahasa Italia, tetapi saya kira ayat ke-85 dari bagian Paradiso itu tetap berarti ‘dan dalam kehendaknyalah kedamaian kita’. Saya juga bukan ahli Dante, meskipun saya punya gelar Sarjana Sastra (terima bikin puisi gombal), tetapi saya yakin teks itu terhubung dengan nuansa doa sehingga terjemahan tertulisnya jadi ‘dalam kehendak-Nyalah kedamaian kita’. Kok bisa yakin? Kata penulis lain (yang saya anggap lebih ahli) begitu dan saya bisa maklum wong judul besarnya saja The Divine Comedy dan bagian-bagiannya memuat soal surga-neraka.

Lha, omong-omong surga-neraka, jadi ingat kemarin saat penutupan sahur bersama, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mengundang para nahdliyin untuk menembangkan lagu kesukaan Gus Dur setiap menutup pengajarannya (doa Abu Nawas?). Saya belum hafal, tetapi masih ingat arti yang disampaikan Bu Shinta: Duh Gusti, aku bukan orang yang pantas masuk surga, tetapi aku juga tak kuat dengan api neraka, maka berilah aku kemampuan bertobat dan ampun atas dosaku karena hanya Engkaulah yang dapat mengampuni dosa-dosaku. Ingatan saya bisa salah, tetapi hati saya damai saat mendengarkan saudara-saudari di sekitar saya menyanyikannya.

Kedamaian itu datang bukan hanya karena saya dapat makanan sahur gratisan (maklumlah mahasiswa macam saya begini senangnya bukan main kalau dapat gratisan😂, meskipun jauh lebih sering gak sampai hati untuk tidak bayar sih), melainkan juga karena saya mendapat santapan jiwa yang sama dengan yang disantap oleh partisipan lain. Nah, perkara ada peserta yang gak damai karena KPU mempercepat pengumuman rekapitulasi penghitungan suara, itu mah urusan masing-masing.😂 Akan tetapi, kalau balik ke perkara politik begitu, jelaslah kedamaian sejati tidak datang dari gelojoh kepentingan diri yang sempit dengan aneka rasionalisasi.

Kedamaian yang saya dapatkan dalam sahur bersama kemarin tak lain adalah kedamaian yang disampaikan Guru dari Nazareth kepada para muridnya. Ini adalah damai yang datang dari Sang Cinta yang menyeret orang pada rasa tak pantas diri di hadapan keagungan-Nya. Damai yang dibagikan Guru dari Nazareth memanifestasikan damai yang menyokong kerendahhatian orang beriman.
Kalau Anda menghidupi liturgi Gereja Katolik, Anda akan melihat sambungan damai ini dengan liturgi Ekaristi: setelah menerima damai itu, Anda berucap “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi…” bla bla bla.

Itu mengapa saya merasa damai juga melihat TNI-Polri, Banser dan elemen masyarakat lain siap siaga untuk mengantisipasi aksi (yang katanya damai itu) 22 Mei dan ndelalahnya KPU dan sekitarnya bermain cantik dengan mengumumkan hasil pemilu hari ini. Wah, yang sudah punya tiket untuk 22 Mei mesti reschedule dong!
Hanya orang yang paham dagêlan ilahi yang dapat melakukan aksi damai. Misalnya saat rekapitulasi berlangsung berpencak silat protes proses rekapitulasinya, lalu lapor ke Bawaslu, dan setelah proses selesai dan ada penetapan lalu menandatanganinya. Lha kalau dalam proses rekapitulasi adem ayem manggut-manggut tapi ujung-ujungnya berkoar-koar ‘curang’ dan tidak mau tanda tangan, ini mah dagêlan nggilani.

Ya Tuhan, berikanlah juga damai-Mu kepada bangsa kami. Amin.


SELASA PASKA V
21 Mei 2019

Kis 14,19-28
Yoh 14,27-31a

Posting 2018: #2019GantiAnjing
Posting 2017: Legawa Nan Cerdas

Posting 2016: Generasi Mawar?

Posting 2015: Salam Damai Gombal

Posting 2014: Imagine… No Countries, No Religions