Kesatuan semestinya adalah suatu harmoni dalam keberagaman. Kesatuan mengandaikan keragaman. Keragaman mengandaikan perbedaan. Oleh karena itu, tersesatlah ideologi NKRI yang berbasis keyakinan akan keseragaman, baik dalam budaya, politik, ekonomi, maupun agama.
Nah, jadi bener kan ya, Rom, kalau secara ekonomi Indonesia timur kaya akan SDA dan kekayaannya disedot ke Jakarta untuk Proyek Strategis Nasionalnya? Wajar kan kalau secara kultural Indonesia timur ditinggalkan karena pendidikan mereka yang rendah tapi tetap dalam kesatuan dengan NKRI? Masuk akal kan, Rom, ganti menteri ganti kebijakan?
Yes, memang sudah hampir 80 tahun hal-hal itu dianggap lumrah. Anggapan tak lumrah hanya ada di ranah akademik atau rasa perasaan individual, yang mungkin dimiliki lebih banyak penghuni negeri ini tetapi tak terhubung dengan political will pengelola negaranya. Mentalitas cari selamat sendiri dengan keyakinan semacam “orang-orang juga banyak yang begitu” memperkuat orang untuk memburu rente demi pribadi atau kelompok sendiri. Tentu saja, pengelola negara mestilah mengedepankan kepentingan NKRI, tetapi sumpah itu tak selalu koheren dengan kebijakan yang dieksekusi sampai ke tingkat bawah. Ini nyata: masih ada guru yang gajinya hanya 300 ribu per bulan, itu pun dibayarkan setelah tiga bulan. Pendidikan macam manakah itu?
Teks bacaan pertama hari ini, untuk merayakan dua tokoh kekristenan, Petrus dan Paulus, menggambarkan bagaimana Gereja Perdana berdinamika dalam keberagaman mereka. Dua orang ini disatukan dalam iman akan kecintaan kepada sosok Yesus Kristus dan Injilnya, tetapi bertolak belakang dalam keyakinan akan tradisi Yahudi. Petrus, yang berasal dari tanah Yahudi, jelas punya ikatan kuat dengan kebiasaan orang Yahudi berkenaan dengan sunat atau makanan halal. Wajar kalau dia condong membela tradisi Yahudi meskipun tidak fanatik-fanatik amat.
Paulus, sebaliknya, orang yang sangat fanatik. Ia sangat dikenal sebagai persekutor pengikut-pengikut Kristus. Akan tetapi, setelah pertobatannya, ia tetap militan meskipun tak sekonservatif Petrus. Baginya, tradisi sunat atau haram makan babi ala Yahudi itu tak perlu dipaksakan kepada orang-orang non-Yahudi. Tradisi itu pantas dihormati, tetapi tak perlu disembah seperti Allah yang pantas disembah.
Mereka yang sama-sama mencintai Yesus Kristus itu pun mesti punya keterbukaan pada dimensi hidup baru yang tidak bisa didemarkasi pada kultur mana pun. Dengan begitu, orang yang percaya kepada Allah yang Maha Esa sesungguhnya menerima dengan lapang dada bahwa kesatuan hati dan budi tak bisa dihancurkan oleh perbedaan kultur. Sebaliknya, menghancurkan kultur, yang bisa jadi saluran rida Allah, malah mengindikasikan orang tak punya kesatuan hati dan budi dalam kepercayaan akan Tuhan YME.
Semoga perpecahan horisontal yang sekian lama dipelihara di bumi pertiwi ini menjadi pelajaran berharga bagi semua penganut agama dan kepercayaan kepada Tuhan bahwa yang Dia kehendaki pertama-tama adalah keadilan sosial lebih daripada aneka ritual bikinan manusia yang begitu beragam. Amin.
HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS
(Minggu Biasa XIII C/1)
29 Juni 2025
Kis 12,1-11
2Tim 4,6-8.17-18
Mat 16, 13-19
Posting 2020: La vita è bella
Posting 2019: Iman Sekular?
Posting 2018: Tukar Label
Posting 2017: Met Ultah Pak Ahok
Posting 2016: Mari Berbuka
Posting 2015: Ada Baiknya Bertengkar
Posting 2014: What You Choose Is What You Get
