Seorang kawan menuliskan observasi proses pilgub DKI dengan menyitir satu entry kata relatif baru dalam kamus Oxford: Post-truth. Pada kenyataannya, popularitas kata ini memang didongkrak oleh proses pemilu di Amerika dan referendum di Eropa. Post-truth adalah kata sifat yang menggambarkan situasi bahwa fakta objektif itu kurang punya pengaruh terhadap pembentukan opini publik daripada ikatan emosional dan keyakinan pribadi: objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.
Pilgub DKI mengafirmasinya: tingkat kepuasan tinggi terhadap kinerja pelayan publik (yang nota bene adalah pengakuan bahwa kerjanya memang okeh dan oceh, cie cieeee) tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitasnya. Kebenaran rupanya tidak mengikat, kurang menarik daripada sentimen SARA. Dengan kata lain, alih-alih mendasari proses pilihan dengan logika kebenaran, orang lebih memilih dengan logika baperian: iming-iming janji, suap, politik uang, intimidasi kerohanian, dan sebagainya. Barangkali bisa disebut bahwa sebagian besar warga dunia ini adalah warga baperian.
Semoga para pembaca tidak memenjarakan kata baper dalam kelompok kata sifat yang negatif: tersinggung, marah, kecewa, sakit hati, jengkel, dan sebagainya. Kenapa? Karena perasaan itu netral sifatnya, bisa negatif, bisa positif. Orang yang gembira pun sebetulnya bisa disebut juga baper ketika perasaannya itu menghanyutkan dirinya dari fokus penting yang seharusnya dia bidik. Bisa jadi bukan timses sedemikian gembira dan optimis karena survei, misalnya, sehingga malah jadi tidak waspada dan tidak maksimal dalam implementasi strateginya?
Baper macam itu juga terjadi dalam diri para murid yang sedemikian gembira dan heran sehingga mereka malah tidak percaya terhadap apa yang ada di depan mereka. Bacaan hari ini adalah kelanjutan kisah kemarin mengenai dua murid yang hendak berjalan pulang ke Emaus. Mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit lalu diminta kembali menemui murid-murid lain untuk mengabarkan kebangkitan Yesus itu. Lha, mereka tak percaya begitu saja rupanya. Yesus menampakkan diri dan masih juga mereka tak percaya; mengira Yesus itu hantu. Sudah diminta untuk meraba tubuhnya, tetapi itu pun bukan jaminan bagi mereka untuk percaya.
Apa yang menghalangi mereka untuk percaya? Baper itu tadi. Dituliskan oleh penulis Lukas: mereka belum percaya karena girangnya. Karena itu, Yesus menggiring mereka dalam realisme yang ‘esktrem’: makan ikan goreng (mosok sih ikan goreng?).
Problemnya, apakah untuk hidup beriman itu orang mesti masuk dalam realisme yang ekstrem seperti itu? Apakah juga orang perlu merasakan dulu situasi hancur-hancuran akibat radikalisme agama sebelum menolaknya? Apakah fakta para koruptor membenci paslon tertentu itu tak lebih intriguing sebagai bahan pertimbangan kebenaran publik daripada janji manies gubernur merangkul semua? Baper dalam hal ini, yaitu girang akan kemenangan, bisa jadi bikin blur.
Warga yang tidak baperian takkan berlama-lama dengan status menang kalah. Sudah dituliskan dalam Kitab Suci bahwa Sang Kebenaran akan ‘dibunuh’. Maka fokusnya, entah menang atau kalah, ialah seperti tertulis pada ayat terakhir: jadi saksi pertobatan dan pengampunan dosa. Tanpa itu, gada yang percaya bahwa Kebenaran senantiasa hidup (lha wong dengan tobat dan pengampunan saja belum tentu warga baperian percayaa).
Tuhan, mohon rahmat agar kami mampu mewartakan tobat dan pengampuan. Amin.
KAMIS DALAM OKTAF PASKA
20 April 2017
Posting 2016: Takut Salam Damai
Posting 2015: Iman Infantil
Posting 2014: Ujung-Ujungnya Apa Nih?
Categories: Daily Reflection