Saya cuplik berita daring mengenai pernyataan Prabowo sebelum kerusuhan 22 Mei. “Jadi Saudara-saudara, kami dapat laporan ada banyak isu-isu, katanya ada yang mau bikin aksi kekerasan, itu bukan pendukung-pendukung kami. Dan itu bukan sahabat-sahabat saya, bukan sahabat-sahabat kami. Sekali lagi, apa pun tindakan, lakukan dengan damai!” Videonya ada di link ini (semoga tidak termasuk yang diblokir sementara oleh kemkominfo). Pernyataan itu sebetulnya klop dengan teks bacaan hari ini, wacana malam hari Guru dari Nazareth sebelum ia ditangkap. Bunyinya begini,”Kamu adalah sahabatku jika kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu… Inilah perintahku kepadamu: kasihilah seorang akan yang lain.”
Meskipun dua pernyataan itu klop, saya tak akan pernah berani menyandingkan Prabowo dengan Guru dari Nazareth. Ganz und gar nicht! Hanya karena dua orang sama-sama mengatakan kasih atau cinta atau sayang atau damai, tidak lantas berarti keduanya sama-sama penghayat cinta damai. Bisa jadi bertolak belakang karena integritas dan kegilaan orang bisa berbeda arahnya. Di hadapan publik, saya bisa saja menyerukan perdamaian sementara komando kelompok internal justru punya agenda memancing kerusuhan dan dengan demikian pihak lainlah yang mesti bertanggung jawab atas kerusuhan itu karena sudah jauh hari saya tegaskan bahwa aksi yang saya serukan ini aksi damai dan kalau ada yang bikin rusuh, berarti itu bukan sahabat saya! Betul, bukan? Saya tidak melakukan kebohongan publik, bukan?
Betul, karena memang bisa jadi perusuh itu budak saya, bukan sahabat saya. Seorang sahabat tahu apa yang jadi keprihatinan saya dan tahu juga apa yang dia buat. Seorang jongos, budak, kacung, entah pret entah bong, semulia apa pun kelakuannya, tidak mengerti strategi tuannya dan, dengan demikian, juga tidak mengerti apa yang dilakukannya sendiri selain demi amplopan duit. Ideologinya sempit. Modalnya mungkin asal menjerit atau mencuit. Mungkin juga sangu arit atau clurit. Hoaksnya mengintimidasi mata sipit.
Sahabat saya tahu diri: amplop duit penting sejauh tak membuat kemanusiaan terpelanting. Sahabat saya mengerti betul panggilan tugas negara, tetapi ia tak mengabaikan tanggung jawab keluarga. Sahabat saya memang taat kepada perintah atasan, tetapi di kedalaman hatinya dia takwa kepada Tuhan. Itu mengapa mereka juga bisa kelelahan.
Dua puluh satu tahun silam saya gemas pada korps TNI-Polri (apalagi pada gerombolan Prabowo). Saya gemas bukan karena mereka menjalankan tugas menjaga keutuhan NKRI, melainkan karena mereka tega menghabisi nyawa rakyat sipil.
Sekarang ini, saya gemas pada gerombolan yang hendak menyebarkan suara sumbang terhadap korps TNI-Polri, bahkan membenturkannya dengan kelompok Islam. Saya yakin bahwa TNI-Polri saat ini (dan semestinya masa yang akan datang juga) adalah sahabat-sahabat warga NKRI yang tidak bermental kacung kekuasaan, jongos kekerasan, budak ideologi, dan hamba mamon. Bukannya TNI-Polri itu alat negara ya, Rom? Iya, tetapi tidak harus berarti kacung kekuasaan. Ini bukan soal TNI-Polri menjaga Jokowi, melainkan soal TNI-Polri melindungi negeri dari rongrongan gerombolan kacung tadi, yang oleh Prabowo tidak diakui sebagai sahabatnya. Sahabat siapa ya mereka itu? Mêsakké tênan.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi supaya kami sungguh dapat menjadi sahabat-Mu. Amin.
JUMAT PASKA V
Peringatan S. Maria della Strada
24 Mei 2019
Posting 2018: Jongos HOT
Posting 2017: Silent Majority
Posting 2016: Asal Bapak Senang
Posting 2015: Dalam Untung Rugi
Posting 2014: Receive in Giving
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.