Pada saat saya menjalani hidup semi-pertapa sebelum pertengahan tahun 90-an, ada novel laris di dunia internasional berjudul Va’ dove ti porta il cuore (kata terakhir dibaca kuoré). Ini adalah novel ringan dengan kategori B seturut pembagian Facile Letture bin Easy Readers yang dasarnya adalah jumlah kosa kata. Kalau menguasai novel ini, Anda menguasai 1200 kosa kata Italia. Ini memang bacaan ringan [tidak seperti kebanyakan bacaan dalam blog ini], tetapi bukan berarti amanat isinya ringan. Ceritanya sederhana (pengakuan seorang nenek kepada cucunya bahwa sepanjang hidupnya ia terkekang oleh silaunya sensasi dan vonis dunia ini), tetapi isinya bukan pesan hampa. Membacanya mudah, tetapi memahaminya susah (kalau orang sungguh mau menjalani hidup verso Dio alias menuju Allah sih).
Sekarang, novel itu sepertinya bisa dibaca dalam edisi bahasa Indonesia. Anehnya versi Indonesia itu berjudul Go where your heart takes you. Versi bahasa Inggrisnya sendiri lebih irit: Follow your heart. Saya mengikuti judul yang lebih irit, bukan judul Google Translate. Ini saya bocorkan halaman agak belakangnya. Si penulis surat itu membayangkan kesedihannya melihat hidup yang terbuang sia-sia: sebuah kehidupan tanpa cinta. Nasihatnya jelas: setiap kali Anda mau mengoreksi kekeliruan di sekeliling, ingatlah bahwa koreksi pertama yang harus dilakukan ialah koreksi terhadap hal-hal dalam diri Anda sendiri. Kalau ternyata ada banyak pilihan untuk itu, sebelum memilih, duduklah dan tunggu saja. Tarik nafas dalam-dalam dan dengan keyakinan yang sama seperti ketika Anda menarik nafas pertama kali masuk ke dunia ini, tanpa distraksi alias galfok karena hal-hal lainnya, tunggu dan tunggu saja lagi. Diam saja, dalam keheningan, dan dengarkanlah suara hati Anda. Kalau hati itu menggerakkan sesuatu, bangkit dan ikutilah dia.
Gampang membacanya, bukan? Membayangkannya juga mungkin tidak sulit, kecuali mungkin kalimat ‘hati itu menggerakkan’. Nasihat nenek itu betul seratus persen, tetapi siapa orang (muda) zaman ini yang mau duduk diam untuk mendengarkan suara hati? Saya bisa bilang begini karena saya sendiri pernah mengalaminya. Dalam keadaan krisis, saya mencari ke sana kemari referensi, bertanya kepada para ahli, minta pendapat dan nasihat ke sana sini, tetapi kekayaan referensi dan kata-kata bijak itu tak punya taji sama sekali sebelum saya sendiri ‘duduk diam mendengarkan suara hati’ itu. Dalam kasus saya, suatu kali ‘pengampunan’ adalah kunci, lain kali giliran sikap rendah hati yang berperan, dan kesempatan lain yang membebaskan justru adalah totalitas mengerjakan apa saja yang semula tidak saya kehendaki. Dari momen ke momen, orang memang mesti duduk diam mendengarkan suara hatinya sendiri supaya ia sungguh menikmati hidup yang bebas, bagaimana pun kondisinya.
Nah, malah jadi susah kan?😂😂😂
Aloysius Gonzaga mengikuti gerak batin yang membawanya pada kemuliaan hidup, bahkan meskipun mati karena tertular penyakit mereka yang dibantunya. Di mata dunia, tampak sia-sia dan konyol, tetapi hidupnya tak ayal lagi membahagiakan karena ia sungguh mengikuti suara hatinya.
Tuhan, ajarilah kami untuk sabar mendengarkan suara hati tempat-Mu menyatakan cinta. Amin.
JUMAT MASA BIASA XI C/1
Peringatan Wajib S. Aloysius Gonzaga (SJ)
21 Juni 2019
Jumat Biasa XI B/2 2018: Tipikors
Jumat Biasa XI C/2 2016: Kedap-kedip atau Melotot
Jumat Biasa XI B/1 2015: Minions Hilang Arah
Jumat Biasa XI A/2 2014: Memelihara Berhala
Categories: Daily Reflection