Gak Kapok Sidang?

Menjelang sidang putusan MK saya jadi baper karena ‘trauma’ dengan persidangan. Bukannya saya tak percaya pada institusi MK dan kredibilitas para hakimnya, melainkan namanya ‘trauma’ kok ya udah ‘trauma’ aja gak usah disangkutpautkan pada kepercayaan terhadap mereka di lembaga peradilan lainnya ya?😂😂😂 Iya, ini problem saya, bukan problem para hakim MK. Baper saya ini cuma mau merujuk pengalaman pahit di persidangan, yang sudah saya sampaikan pada posting Sumpah Paljing persis seminggu lalu.

Singkatnya, kesaksian saya yang meneguhkan penilaian hakim bahwa tak ada alasan untuk suatu perceraian pada akhirnya tidak berarti sama sekali karena hakim memutuskan hal yang sebaliknya. Dunia tahu bahwa ini perkaranya adalah mamona, dan mengenai ini sudah saya tulis juga posting iman aman amin tiga tahun lalu. Problemnya bukan uang, melainkan kepercayaan orang terhadapnya, dan itulah yang hendak dikritik Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini. Tak ada orang yang bisa mengabdi dua tuan. Kalau mau memperhambakan diri pada Tuhan ya jangan memperhambakan diri pada duit.

Pada kenyataannya, dalam pengalaman ‘traumatis’ saya itu, pihak yang punya uang banyaklah yang bisa menang. Betul banget, tetapi sejauh apa sih kemenangannya itu? Seperti kemenangan JKT 58, kemenangan di Siria, atau kemenangan di Marawi? Kekalahan apa sih yang dialami pihak tanpa sokongan duit tadi? Seperti kekalahan Ahok atau tokoh lain yang memilih menuntaskan masa tahanannya, atau kekalahan pihak yang rumah tangganya hancur karena duit tadi?
‘Trauma’ saya memuat cerita bahwa pihak yang sebetulnya saya bela itu akhirnya kalah, dan ujung-ujungnya berpindah agama. Apakah ini kekalahan? Ya tidak. Selama orang benar-benar hidup dalam kepercayaan kepada Allah yang sesungguhnya itu, mau ganti agama KTP ya sumonggo-sumonggo aja, tak usah diributkan, gitu kan? Yang menurut saya bisa disebut kalah itu justru kalau orang sudah tak punya uang, njuk malah tak menaruh kepercayaan kepada Allah, penyelenggara hidup. Itu sudah!

Dalam keadaan itu, orang pasti kalah hidupnya. Lha iya to, sudah gak punya duit alias gak bisa menang di kehidupan insani, gak percaya pula pada kehidupan ilahi. Ha njuk mèh ngapa? Lahir-batin susah, bukan?Kalau mau lahir-batin menang, orang tak bisa kompromi: dia mesti mengabdi tuan yang mengatasi mamona itu. Ini tak berarti bahwa tidak ada kompromi di dunia ini. Tentu ada tetapi kompromi itu hanya ada di level lahiriah, level yang hanya memberi sensasi karena pengindraan: kelihatan bagus, tercium wangi, tampak cantik, terkesan mewah, dan seterusnya. Bukan ke situ orang beriman mengabdi, melainkan ke sini: dalam kerapuhan, kelemahan, susah, derita, orang beriman mempersaksikan cinta sejatinya kepada Allah.

Dalam kerangka itu, ia justru mendapat kekuatan dan kemenangan sesungguhnya karena yang dikejar dan dikerjakannya semata kehendak Allah, yang pada posting kemarin dijabarkan sebagai hati yang mesti diikuti. Dengan kata lain, kalau orang mengikuti mamona, klaimnya sebagai orang yang hanya menuruti kata hati adalah omong kosong.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin mampu mengandalkan kebenaran-Mu semata dalam segala kesulitan hidup duniawi ini. Amin.


SABTU MASA BIASA XI C/1
22 Juni 2019

2Kor 12,1-10
Mat 6,24-34

Sabtu Biasa XI B/2 2018: Freezing Religions
Sabtu Biasa XI C/2 2016: Tak Ada Tuan Selain Mamon
Sabtu Biasa XI B/1 2015: Sampah “Pecinta” Alam
Sabtu Biasa XI A/2 2014: Mau Golput Lagi?