Suket Teki Sewu Kutha

Judul posting ini tentu tak asing bagi anggota perkumpulan sobat ambyar. Bolehlah saya merekomendasikannya kepada Anda sekalian, daripada susah payah mengelola keambyaran hidup dengan pendekatan filsafat atau bahkan Kitab Suci, hadapi saja dengan berjoged, niscaya Anda terbantu membumikan Kitab Suci atau filsafat itu.

Begitulah, setelah masanya core of the core, sekarang orang akrab dengan the godfather of broken heart, terutama Anda yang jadi member sobat ambyar tadi, para sadboys dan sadgirls. Semoga tembang-tembang campursari itu membantu Anda untuk menerapkan filsafat permainan yang pernah saya tulis dalam tautan ini. Amin.

Loh kok sudah amin, Rom? Njuk apa hubungannya dengan teks bacaan hari ini? Hubungannya ya njoged aja, tapi baiklah saya hubungkan dengan laporan intel ke meja saya kemarin. Ada seorang jemaat yang nyawanya tak tertolong setelah gagal bernafas pada saat menjalankan ritual ibadat. Kenapa bisa terjadi begitu? Karena orang-orang di sekelilingnya memang juga sedang menjalankan ritual ibadat. Celakanya, tak banyak orang yang menjalankan ritual ibadat dengan kesadaran filosofis seperti disodorkan perkumpulan sobat ambyar tadi.

Kesadaran filosofis tuh apaan sih, Rom?😂😂😂 Iya tuh saya juga ga’ tau maksudnya. Pokoknya begini: betullah Anda beribadat itu untuk memuji, menyembah, memuliakan Allah, tetapi jangan sekali-kali menganggapnya bahwa ritual ibadat itu satu-satunya cara yang memungkinkan Anda connect dengan Allah. Percayalah sama saya, pada saat Anda menjalankan ritual, Anda tidak sedang berurusan dengan Allah yang ada ‘di luar sana’, tetapi Allah yang hendak hadir ‘di dalam sini’. 

Pada momen seperti itu, Anda akan ditantang untuk memberikan respon terhadap apa yang terjadi ‘di luar sana’ berdasarkan apa yang bergerak ‘di dalam sini’. Nah, yang menentukan kualitas Anda beriman bukan apa yang terjadi ‘di luar sana’, melainkan bagaimana Anda menggumuli apa yang terjadi ‘di dalam sini’. Pada saat itu, kalau kaki dan tangan Anda terkunci oleh tata ritual, tata ibadat, tata liturgi, Anda kehilangan kesalehan sosial. Nilai kehidupan yang semestinya lebih mulia jadi korban kesalehan ritual.

Kok bisa ya? Ya bisa, karena dengan kesalehan ritual itu orang begitu yakin bahwa ritual ibadat alias liturgi adalah segala-galanya, tetapi tak terhubung dengan kehidupan yang serba lumrah, yang sebetulnya jadi ajang untuk mewujudkan kesalehan sosial. Tragis sekali kalau dalam ibadat ada orang pingsan dan malah hanya dijauhi dan didiamkan karena orang hendak memuji Tuhan dan tak mau pujiannya kepada Tuhan terganggu!

Kehadiran Guru dari Nazareth yang pulang kampung rupanya jadi gangguan: orang kampung tak sudi mendengarkannya karena merasa lebih tahu daripada si pewartanya. Alhasil, bukan kebenaran pewartaannya yang ditangkap, melainkan orang yang dijadikan objek pikiran mereka sendiri: masa lalunya, keluarganya, posisi, status sosial, dan seterusnya.

Dalam keadaan seperti itu, warta kenabian tak pernah efektif bekerja. Maka, hambok mau menanam padi di seribu kota, tumbuhnya ya rumput teki. Ini paralel dengan mereka yang getol dengan kesalehan ritual tanpa menghayatinya sebagai kesalehan sosial.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menangkap sabda-Mu dalam hidup yang lumrah. Amin.


JUMAT BIASA XVII C/1
Peringatan Wajib S. Petrus Faber (SJ)
2 Agustus 2019

Im 23,1.4-11.15-16.27.34b-37
Mat 13,54-58

Jumat Biasa XVII B/2 2018: Mulai dari Kegagalan
Jumat Biasa XVII A/1 2017: About Being Interreligious
Jumat Biasa XVII B/1 2015: Yesus Beristri, Emang Gue Pikirin?
Jumat Biasa XVII A/2 2014: Afirmasi via Negasi