Cinta Robot?

Tak sedikit orang beragama yang tak tahu mengapa mereka beragama. Ini direpresentasikan oleh entrepeneur muda dalam teks bacaan hari ini. Dia sudah memenuhi aneka hukum agama, dari yang sepele sampai yang paling besar, dari yang gratis sampai yang biayanya cuma bisa ditanggung orang-orang yang super kaya.

Haiyalah, apa sih yang gak bisa dibikin orang kaya? Agama saja bisa dibeli! Secara logis bisa diterangkan bagaimana semakin orang berduit semakin besar kemungkinannya untuk menjalankan aneka macam perintah agama: mulai dari bersedekah dan berziarah sampai membangun tempat ibadah mewah. Singkatnya, kekayaan entrepeneur muda tadi adalah suatu necessary condition bagi hidup keagamaannya. Akan tetapi, dari dialog singkatnya dengan Guru dari Nazareth kelihatan bahwa itu tidak pernah jadi sufficient condition. Tahunya dari mana? Orang muda itu sendiri merumuskannya: semua perintah agama sudah dijalankan, kurang apa lagi ya?

Secara implisit sebetulnya ia mengatakan bahwa semua perintah agama itu belum mengantarkannya kepada sesuatu yang dirindukannya, daaaaan Saudara-saudari, itu artinya dia sebetulnya tidak tahu untuk apa dia beragama! Maksud saya, dia menjalankan semua perintah agama tanpa tahu untuk apa perintah agama itu dijalankannya. Dengan kata lain, ini robot bernyawa.

Bayangkan, bahkan untuk bermoral saja mentalitas itu tidak memadai karena robot tak punya kebebasan untuk memilih. Semua jadi urusan kontrol mengontrol. Kalau untuk bermoral saja tidak memadai, gimana mungkin mentalitas entrepeneur muda tadi mencukupi hidup keagamaan?
Hidup keagamaan yang dirindukan anak muda tadi bukan hidup penuh kontrol, tetapi ironisnya, dia sendiri hendak mengontrol segala-galanya, termasuk kebahagiaan yang dirindukannya. Ini adalah ungkapan lain dari “mengobjekkan” Tuhan, misteri, kebahagiaan, agama, dan seterusnya.

Jawaban yang disodorkan Guru dari Nazareth sepertinya mengindikasikan bahwa orang muda itu mesti menyerahkan segala kekayaannya kepada kaum miskin dan kemudian mengikutinya.
Akan tetapi, sudah saya sampaikan dalam posting What’s wrong with being rich? bahwa persoalannya tidak terletak pada kekayaannya per se. Jawaban Guru dari Nazareth lebih menunjuk pada suatu mentalitas yang dibebaskan dari paradigma kontrol mengontrol tadi. Paradigma itu punya tendensi mendorong orang memberhalakan diri sendiri, juga dengan mencari berhala dari sekeliling sebagaimana dikisahkan dalam teks bacaan pertama.

Orang mau mengontrol hidup tetapi tak mau hidupnya dikontrol. Ini membahayakan batinnya.
Loh, tadi katanya mesti menghindari mentalitas robot, Rom? Bukankah itu berarti kita tak boleh membiarkan diri kita dikontrol kekuatan luar?
Betul, tetapi problemnya orang mengategorikan Allah, agama, kebahagiaan, surga ke dalam “kekuatan luar”. Akibatnya, ia mau mengontrol tapi tak mau dikontrol.

Kata senior saya, jawaban Guru dari Nazareth itu mengundang pemuda entrepeneur itu untuk memupuk kemampuan memilih dalam kebebasan dan let it go dalam setiap jerih payahnya. Di sini diandaikan bahwa orang mesti tahu, kata keponakan saya, apa yang harus dilakukannya: bukan tahunya itu diperintahkan agama, melainkan tahu mengapa agama memerintahkannya.

Maka, Guru dari Nazareth tidak memberi tambahan perintah baru untuk menjual harta kekayaan, tetapi menyodorkan mentalitas baru yang memungkinkan orang menggapai kebebasan sejati juga kalau hartanya banyak.

Tuhan, mohon rahmat kebebasan-Mu. Amin.


SENIN BIASA XX C/1
19 Agustus 2019

Hak 2,11-19
Mat 19,16-22

Senin Biasa XX B/2 2018: Susah Bahagia? 
Senin Biasa XX A/1 2017: Terbaik Cuma Satu
Senin Biasa XX C/2 2016: Hukum Membebaskan

Senin Biasa XX A/2 2014: Pernah Jatuh Cinta Gak Sih?