Saya kasih tahu Anda rahasia tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Kalau akrab dengan lagu dari buku Madah Bakti yang judulnya Kususun Jari di Altar-Mu, Anda tahu akhir lirik ayat pertama “lambang cinta bukti baktiku”, tetapi saya itu menyanyikannya “lambang cinta buk ti bak ti buk” [lalu bisa dilanjutkan dengan buk ti bak ti buk suara spatu kuda, tetapi tentu saya tak pernah menyanyikannya begitu]. Buktibaktibuk itu sudah jadi semacam earworm di kepala saya. Untunglah kesadaran saya masih agak normal jadi kalau di depan corong mikrofon yang aktif saya tidak mengeluarkan bunyi earworm dari kepala saya itu, meskipun kalau saya bunyikan pun masih akan terdengar “lambang cinta bukti baktiku” oleh telinga yang gagal fokus.
Pertanyaan hari ini kurang lebih berkenaan dengan earworm itu, yang kadang dikenal sebagai brainworm, sticky music, stuck song syndrome, atau Involuntary Musical Imagery. Kadang bisa terjadi earworm ini muncul bukan karena lagu baru saja selesai diputar. Lagunya bisa jadi lagu populer sepuluh tahun atau dua puluh tahun lalu. Mungkin juga earworm dipicu oleh suatu frase lirik lagu tertentu yang klop dengan situasi hidup yang dihadapi seseorang. Bisa terjadi juga orang yang sama sekali tidak suka dengan lagu tertentu tetapi malah kerap menyanyikannya sendiri.
Sik sik sik, kok ngelantur, tadi saya mau omong apa ya?
Oh iya, ini hari peringatan Santa Sesilia dalam liturgi Gereja Katolik. Beliau ini patron kelompok kor alias paduan suara. Dibunuh karena gak mau married dengan laki-laki yang tak punya respek terhadap keyakinan monoteis. Nah, mengapa jadi patron orang-orang bernyanyi, saya tak begitu mengerti. Katanya sewaktu dipenggal itu terdengar suara paduan suara indah.
Akan tetapi, kembali ke pertanyaan untuk Anda yang mau merenung: earworm apa yang mengiang di kepala dan bahkan terlontar melalui mulut Anda?
Ada orang yang bernyanyi karena galau. Ada yang berdendang karena depresi. Ada yang menembang karena sedih. Ada yang mengarang (lagu) karena kehujanan.
Guru dari Nazareth hari ini diceritakan secara singkat mengusir pedagang dari bait Allah. Kenapa ya? Jangan-jangan memang ada earworm di kepalanya. Bisa jadi: Ada tertulis rumah-Ku adalah rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sebagai sarang penyamun!
Saya tidak tahu bagaimana sobat ambyar memberi pola melodi terhadap kata-kata yang mengiang di kepala Guru dari Nazareth itu, tetapi memang yang penting bukan lagi melodinya, melainkan kata-kata mak nyusnya yang berujung pada tindakan Guru mengusir pedagang.
Lagi, pertanyaannya: adakah ayat suci yang mengiang di kepala Anda dan kemudian terealisasikan dalam hidup Anda? Atau adanya malah ayat benci?
Ayat suci itu tidak harus berasal dari kitab suci sih, karena pada akhirnya yang membuatnya jadi suci adalah realisasinya dalam hidup sejauh itu mengembalikan orang pada fitrahnya. Guru dari Nazareth membersihkan tempat doa supaya orang memang bisa berdoa, yaitu hati orang sendiri. Hati memberi kualifikasi kepada doa, juga kalau itu berupa nyanyian.
Tuhan, ajarilah kami bahasa cinta-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XXXIII C/1
PW S. Sesilia
22 November 2019
1Mak 4,36-37.52-59
Luk 19,45-48
Jumat Biasa XXXIII B/2 2018: Batas Suci
Jumat Biasa XXXIII A/1 2017: You Are Near
Jumat Biasa XXXIII C/2 2016: Agama Sarang Penyamun
Jumat Biasa XXXIII B/1 2015: Alasan Suci Menyulut Benci
Jumat Biasa XXXIII A/2 2014: Bisnisku Bukan Bisnismu
Categories: Daily Reflection