Sahabat Semua

Dalam film Susi Susanti Love All dituturkan mengapa pada awal setiap pertandingan bulu tangkis internasional wasit mengatakan “Love all”, alih-alih nil-nil atau zero-zero atau zero all. Memang maksudnya kosong-kosong alias kosong semua. Akan tetapi, kalimat itu juga merupakan suatu imperatif [sudah kelihatan susah belum ya?] bahwa mereka yang terlibat dalam pertandingan itu mesti mencintai semua: sebagai wasit, hakim garis, penonton, lawan, pasangan, dan lain-lainnya. Mencintai sebagai pasangan, masih bisa dimengerti, tetapi mencintai sebagai lawan, mungkin bisa jadi persoalan. Menjadi sahabat bagi kawan sendiri, tentu bukan perkara sulit, tetapi menjadi sahabat bagi musuh, myahahaha….

Tema Natal yang disodorkan pemimpin umat Kristiani se-Indonesia kurang lebih bernuansa supaya umat beriman menjadi sahabat bagi semua. Gereja Katolik merayakan martir pertama, yang rupanya menjadi sahabat bagi mereka yang memusuhinya. Nah, ini benar-benar membuat saya juga tidak dhonk alias paham. Apa artinya menjadi sahabat bagi mereka yang memusuhi saya?

Frase “sebagai musuh”, “sebagai lawan”, “sebagai pasangan”, “sebagai hakim” dan seterusnya itu kadang luput dari perhatian orang sehingga hanya bisa berpikir bahwa kawan harus disayang, musuh harus dilawan. Keluputan itu juga yang membuat orang hanya punya satu jalan keluar terhadap mereka yang berbeda darinya: membencinya, menolaknya, melupakannya, menyingkirkannya, dan sejenisnya.
Stefanus memiliki jalan keluar yang justru memungkinkannya menjadi sahabat bagi semua, termasuk mereka yang memusuhinya, yang bahkan menutup telinga mereka selagi merajamnya dengan batu. Jalan keluar Stefanus ialah “menatap langit” dan melihat kemuliaan Allah.

Mungkinkah orang ditempilingi dan menatap langit dan melihat kemuliaan Allah? Sepertinya kok lebay ya. Jangankan ditempilingi, kaki terinjak saja sudah bikin orang bersegera mengeluarkan perbendaharaan kebun binatangnya. Jangankan dirajam, dicemooh saja sudah membuat orang menuntut tanpa melakukan tabayun. Pokoknya penistaan agama, penistaan nabi, Tuhan, Kitab Suci, dan seterusnya.
Meskipun tidak dituliskan dalam teks bacaan, saya kira Stefanus ini juga punya kemampuan seperti yang diteladankan junjungannya saat ia mengalami persekusi hebat sampai matinya. Dalam teks hanya dikatakan bahwa ia memohon kepada junjungannya untuk menerima rohnya. Artinya, ia tidak bersibuk ria menyalahkan mereka yang melukainya, tetapi senantiasa mengharapkan rida Allah. Bisa jadi, ia malah mendoakan para penganiayanya, persis karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

Menjadi sahabat bagi semua berarti tak memperlakukan semua secara arbitrer bin sewenang-wenang. Kalau Anda tahu bahwa tetangga Anda hobi mencuri, menjadi sahabatnya berarti membantunya supaya hobi mencuri itu berkembang. 😂😂😂 Gak salah, Rom?
Oh iya, salah. Menjadi sahabat bagi mereka yang hobi mencuri berarti membantunya untuk menemukan fitrahnya. Tak ada orang yang terlahir sebagai pencuri. Maka dari itu, sahabat sejatinya tak membuatnya terus jadi pencuri, tetapi membantu menemukan faktor-faktor yang mendorongnya hobi mencuri dan menuntunnya supaya hobi itu tak mencederai panggilan hidup sejatinya. Kalau memang tak sanggup menuntunnya, ya sudah toh tinggal memasrahkan diri pada Roh seraya mendoakan yang bersangkutan supaya mendapatkan hidayahnya? Menjadi sahabat bagi semua, dengan demikian, malah melegakan, memerdekakan.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin mampu menjadi sahabat bagi seluruh ciptaan-Mu. Amin..


HARI KEDUA OKTAF NATAL
Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama
26 Desember 2019, Kamis

Kis 6,8-10; 7,54-59
Mat 10,17-22

Posting 2018: Hancurkan Sekat
Posting 2017: Natal Gombal

Posting 2016: Kerja Lageee…

Posting 2015: Kesempatan Sempit

Posting 2014: Orang Baik Mati, Kebaikan Tidak

2 replies