Kalau orang mengamati kalender liturgi atau penanggalan bagi ritual Katolik, mudah diketahui bahwa perayaan Natal bagi orang Katolik sangatlah singkat. Bahkan, meskipun disebut masa Natal pun, itu tidak berarti bahwa selepas hari Natal bacaan-bacaannya menyinggung soal kelahiran. Kemarin malah langsung diperingati kematian martir pertama, dan hari ini dipestakan Yohanes, bukan yang membaptis di Sungai Yordan, melainkan yang jadi murid Yesus dari Nazareth. Narasinya bukan narasi kelahiran, melainkan narasi kebangkitan. Yohanes secara lantang mewartakan apa yang dia lihat dan dia dengar dari gurunya.
Kerennya ialah, yang dia wartakan bukan data mentah kelahiran Yesus yang bisa dijelaskan dengan beberapa versi sebagaimana juga diceritakan oleh penulis Injil atau Kitab Suci lainnya, melainkan informasi yang bisa jadi santapan jiwa. Sebagai informasi, warta yang disampaikannya tentu tak mengenal batas. Memang, bahasa bisa jadi kendala, tetapi informasinya sendiri sangat terbuka bagi siapa saja yang mau belajar dari informasi yang disampaikannya. Yohanes tidak menyampaikan warta sebagai bahan gosip dari mulut ke mulut, tetapi menyampaikan kabar yang kalau berlabuh dalam hati orang akan bisa mengubah hidup yang bersangkutan. Perubahan ini membahagiakan, melegakan, memerdekakan.
Problemnya, melabuhkan warta gembira di hati bukan perkara gampang, apalagi dalam masyarakat yang sudah kewowogen agama, apa-apa saja diteropong dengan pengertian agamanya sendiri. Senior saya tadi mengulas narasi bacaan hari ini secara sederhana dengan membandingkan sosok Yohanes dan Petrus. Yohanes lebih muda, lebih energik, lebih cepat larinya. Ini sinkron dengan upayanya mencintai Allah dengan sekuat tenaga, segenap hati. Petrus, lebih tua dan ternyata dialah yang dipilih oleh Guru dari Nazareth sebagai koordinator. Meskipun Yohanes sampai di TKP lebih dulu, ia menghormati Petrus dan membiarkannya mendahului masuk ke dalam TKP, baru dia menyusulnya.
Andaikan saja relasi orang muda dan orang tua terjadi seperti relasi Yohanes dan Petrus yang menunjukkan adanya saling hormat, kiranya warta gembira tidak lagi jadi gosip, tetapi jadi pemacu untuk membangun kerja sama: yang muda dengan kreativitas dan energi yang meluap-luap, yang tua dengan orientasi bijaknya. Celakanya, yang sering terjadi malah sebaliknya. Orang tua berlagak energik dan mau mengangani segala-galanya, orang muda berlagak bijak dan malah tidak melakukan apa-apa yang berguna bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Di situ potensi gosip kental sekali. Yang tua menganggap generasi zaman now tak tahu diri (padahal yang tualah yang tak sanggup mengikuti aneka perkembangan). Yang muda menganggap generasi zaman old ketinggalan zaman (padahal yang mudalah yang tak bisa memetik kekayaan langgeng zaman old).
Yohanes, sebagai penulis Injil, tidak hendak mewartakan kekayaan yang dipatenkan oleh agama, tetapi kekayaan rohani yang memungkinkan setiap orang menangkap Roh Allah yang bekerja setiap saat. Jürgen Klopp boleh membawa timnya menang atas Leicester City yang terkenal angker di kandang, tetapi Yohanes mengundang orang melihat bahwa ketulusan cinta mengambil wujud kerja keras, keuletan, ketekunan, kesabaran, dan sejenisnya. Bahwa skornya mencolok, bisa jadi faktor keberuntungan juga hadir. Akan tetapi, warta gembira Yohanes bukan perkara keberuntungan. Ini soal cinta-cintaan tadi deh.
Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa mempersaksikan cinta-Mu. Amin.
PESTA SANTO YOHANES PENGINJIL
(Hari Ketiga dalam Oktaf Natal)
27 Desember 2019, Jumat
Posting 2018: Belajar Melihat
Posting 2017: Klik Share Dong
Posting 2016: Awas Nyangkut
Posting 2014: Akselerasi Cinta
Categories: Daily Reflection