Surga di Bawah Telapak

Surga di bawah telapak kaki ibu, tetapi juga di bawah telapak kaki bapak dan anak, jika itu dimengerti sebagai penghormatan terhadap orang lain. Maksud saya, justru karena jasa ibu yang luar biasa, penghormatan semestinya juga mengalir ke segala arah. Maksud saya, justru karena jasa ibu bagai sang surya menyinari dunia, tidak selayaknya dunia membalas jasa ibu. Maksud saya, ada jasa ibu yang tak mungkin dibalas, tetapi hanya bisa diteruskan supaya semakin benar bahwa kasih ibu bagai mentari memberikan sinarnya. Maksud saya apa lagi ya?

Dalam teks bacaan hari ini diindikasikan bahwa keluarga dari Nazareth benar-benar melakukan sinkronisasi hidup mereka dengan perintah agama. Tentu maksud saya perintah Allah, meskipun agama tidak identik dengan Allah. Perintah Allah yang mana? Yang mendorong orang untuk mempersembahkan anak (sulung) kepada Allah sendiri. Silakan baca teksnya sendiri ya. Di situ beberapa kali disisipkan komentar ‘sesuai hukum Tuhan’. Maksud penulisnya apa kalau bukan mengatakan bahwa yang mereka lakukan itu sesuai dengan hukum Tuhan?

Nah, sebagai suatu praktik ritual, apakah mempersembahkan anak sulung itu juga berlaku bagi orang zaman now? Ya itu, datang ke Bait Allah njuk membeli merpati untuk persembahan sebagai ganti pengorbanan anak sulung. Saya kira kok tidak. Di tempat lain bisa jadi ritualnya berbeda, tetapi maksudnya sama sih: mengakui bahwa anak adalah titipan Tuhan. Secara sepintas, itu tampaknya gampang. Semua orang beriman mengerti betul bahwa semua ini, bukan cuma anak, adalah titipan Tuhan. Tak ada barang atau hal di bawah kolong langit ini yang sungguh-sungguh adalah kepunyaan kita sendiri.

Di situlah letak godaan bagi orang beragama. Setan penggodanya hidup bukan saja belakangan ini, melainkan juga sejak dunia tercipta, sehingga godaan juga hadir dalam keluarga dari Nazareth itu. Persisnya, orang tua Yesus pun hidup dalam tegangan pilihan antara menerima titipan Tuhan untuk ‘dikelola’ seturut proyek mereka dan membantu titipan itu supaya berproses seturut proyek Allah sendiri.

Itu mengapa saya buka refleksi ini dengan menilik surga di bawah telapak kaki ibu, tetapi juga di bawah telapak kaki bapak dan anak. Justru di situlah kemuliaan hati seorang ibu, yang melahirkan anaknya dan tidak menjadikan anaknya sebagai proyeksi keinginan-keinginannya sendiri, betapapun baiknya keinginan dan falsafah di baliknya (bakti kepada orang tua) itu. Ambillah contoh orang tua yang menginginkan anak mereka jadi berguna bagi agama dan bangsa. Mulia, bukan? Pake’ banget. Akan tetapi, “berguna bagi agama dan bangsa” itu cuma kotak kosong yang bisa diisi macam-macam. Nah, macam-macamnya ini yang tak bisa ditentukan sepihak.

Titik krusialnya tidak terletak pada orang tua yang melepaskan proyeknya dan membiarkan anak menjalani proyeknya sendiri, tetapi pada bersama-mencari proyek Allah itu sendiri. Dalam prosesnya, baik orang tua maupun anak, memang mesti melepaskan proyeksi-proyeksinya sendiri, bukan karena win-lose anak vs orang tua, melainkan karena semua bergumul mencari kehendak Allah. Itulah risiko hidup yang dipersembahkan kepada Allah. Siapa bilang gampang?😂

Ya Allah, mohon rahmat supaya kami berani mempersembahkan pergumulan hidup semata bagi-Mu. Amin.


PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH
Minggu Biasa IV A/2
2 Februari 2020

Ibr 2,14-18
Luk 2,22-40

Posting Tahun 2019: Mau Sisa-sisa?
Posting Tahun 2018: Dilanmu Mana?

Posting Tahun 2017: Saya Disadap

Posting Tahun 2016: Orang Tua Bikin Hang

Posting Tahun 2015: Bismillah