Satu kenyataan bisa ditangkap secara berbeda oleh orang yang berbeda, pun kalau kenyataan itu ialah Allah sendiri [atau “apalagi kalau kenyataan itu adalah Yang Ilahi sendiri” ya?].
Kisah dalam teks bacaan pertama hari ini menarik juga untuk disimak. Ada dua otoritas yang dihadapi Paulus. Yang pertama ialah negara, dalam hal ini diwakili kepala pasukan. Niatnya sangat mulia: memastikan dulu apa yang dituduhkan orang kepada Paulus sehingga ia pantas dihukum. Karena ini ranah agama, dikumpulkannyalah para pemuka agama Yahudi untuk memperoleh keterangan yang valid mengenai persoalan yang dituduhkan kepada Paulus. Yang kedua ialah otoritas agama, dalam hal ini diwakili oleh Mahkamah Agama serta imam-imam kepala. Merekalah yang dianggap punya otoritas untuk menilai ajaran agama yang disebarkan Paulus.
Yang menarik ialah bahwa dalam lembaga agama itu jebulnya ada friksi berkenaan dengan pandangan mengenai kebangkitan. Orang Farisi mengakuinya, tetapi orang Saduki menolaknya. Alhasil, di depan Mahkamah Agama itu Paulus cukup bersuara lantang menguak identitas dirinya sebagai keturunan Farisi (dan orang Farisi juga) yang percaya pada kebangkitan orang mati. Blaik, langsung saja terjadi kegaduhan karena orang golongan Saduki jelas mengingkarinya, sementara kelompok Farisi justu menegaskan barangkali Paulus dituntun oleh Roh sendiri untuk bicara kepada mereka. Dalam keadaan seperti ini, lembaga negara mengambil langkah supaya kohesi sosial tidak hancur dan membahayakan nyawa warga negaranya.
Dari situ jelas kelihatan bahwa kohesi doktrinal (ajaran, dogma, termasuk juga ritual) agama berpotensi menghambat kohesi sosial. Dalam keadaan itu memang negaralah yang semestinya hadir, bukan untuk mengistimewakan satu kelompok, melainkan untuk menyelenggarakan hidup bersama yang kondusif. Tidak dinarasikan dalam teks bagaimana perpecahan antara orang Saduki dan Farisi itu dipecahkan.
Hipotesis saya terhubung dengan teks bacaan kedua hari ini. Isinya masih doa Guru dari Nazareth, yang jelas lebih luas lagi targetnya: Aku berdoa bukan untuk mereka ini saja [murid-muridnya], tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepadaku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu, bla bla bla. Teks ini tak perlu dibaca dengan modal kohesi doktrinal tadi karena kohesi jenis itu berpotensi menghambat kohesi sosial. Secara implisit diharapkan dalam doa itu bahwa semua saja menjadi satu sebagaimana Guru dari Nazareth memiliki kesatuan dengan Allahnya. Ini adalah kohesi sakral yang memungkinkan kohesi sosial, yang mengatasi ikatan primordial.
Kohesi sakral tidak dibangun dari usaha atau jerih payah manusiawi belaka karena usaha itu rentan penyelewengan atau bertendensi bikin galfok. Contoh. Saya pernah memberikan diktat (yang sewajarnya diberikan kepada peserta yang belum memperolehnya) kepada peserta perempuan dan rupanya beliau itu begitu terkesan pada perhatian saya sehingga ia jatuh cinta. Gek salahku ki apa sampai mesti dijatuhi cinta begitu! Kebaikan yang datang dari Allah rupanya tak selalu ditangkap dalam bingkai kohesi sakral.
Memang kohesi sakral itu gampang-gampang susah. Yang dibutuhkannya bukan work from home, melainkan work from heart. Loh, ya itu tadi contohnya kan justru menunjukkan orang work from the heart, Rom?
Anda tetot. Itu namanya work from the feeling. Kalau orang bertindak semata atas dasar feeling, rezim like-dislike berkuasa dan muaranya selalu kepentingan egonya sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa ego tidak penting, tetapi feeling bukanlah satu-satunya penghuni hati. Di sana ada Allah, yang mengundang orang supaya bertawakal, tetapi juga menggunakan akal.
Tuhan, mohon rahmat Roh Kebijaksanaan supaya hati kami senantiasa terbuka pada cinta-Mu terhadap semua makhluk. Amin.
KAMIS PASKA VII
28 Mei 2020
Kis 22,30; 23,6-11
Yoh 17,20-26
Posting 2019: One Heart
Posting 2018: Manusia Tribal
Posting 2017: Kita Pancasila
Posting 2016: Iklan Bernyawa
Posting 2015: Iman Sama Agama Beda
Posting 2014: Menyenangkan Siapa?
Categories: Daily Reflection