Tekuk Lutut

Seorang tokoh nasionalis Italia modern penentang fasisme, Alcide de Gasperi, pernah mengguratkan refleksinya begini,”Aku bertekuk lutut di hadapan Allah untuk berdiri tegak di hadapan manusia.” Apa yang dituliskannya itulah yang dia hidupi dalam kancah politiknya. Sebagian orang mengikutinya tapi cuma sampai tahap tutur kata; dalam tindak-tanduknya malah tersirat,”Aku bertekuk lutut di hadapan manusia untuk berdiri tegak di hadapan Allah.”
Ini permainan kata ya, tetapi bukankah sebaiknya orang tak mempermainkan permainan? Ini sudah saya bahas dalam posting Filsafat Main-main, enam tahun lalu.

Kebanyakan, kalau bukan malah semua, manusia mengikuti dinamika hidup yang dijalani Petrus, yang jadi tokoh pembantu utama dalam teks bacaan kedua hari ini. Begitu menggebu-gebu di hadapan orang bahkan untuk mengklaim cintanya kepada Tuhan, tetapi mak bedunduk tertunduk ketika secara pribadi ditanyai sungguh-sungguh mengenai cintanya kepada Tuhan.
Loh, itu berarti kan malah bertekuk lutut di hadapan Tuhan dan berdiri tegak membusungkan dada di hadapan orang kan, Rom?
Betul, tetapi jangan puas dengan (cinta pada) pandangan pertama. Simaklah baik-baik apa yang sebenarnya terjadi pada Petrus ketika dia berdiri tegak membusungkan dada di hadapan orang lain. Ia memakai kriteria melihat kenyataan dengan kata kerja Yunani blepo. Silakan lihat keterangannya pada posting Iman Tuyul atau Learning by Nyemplung.

Dengan cara pandang itu, Petrus begitu yakin bahwa menjadi orang saleh, beriman, beragama adalah soal mengejar kemegahan, kekayaan, kekuasaan indrawi, duniawi, ragawi. Ia mengklaim diri sebagai pembela Tuhan yang bahkan berani mati demi Tuhan. Petrus termasuk salah satu yang mengharapkan kedatangan Mesias yang akan jadi pemimpin politik, mengalahkan kumpeni penjajah, menata masyarakat dengan hukum agama, menaklukkan seluruh dunia. Jebulnya, dia bahkan salah paham terhadap pesan yang disampaikan gurunya. Sudah salah paham, masih ngotot pula bahwa pahamnyalah yang benar (itu loh ketika akhirnya dia dihardik oleh gurunya sebagai iblis). Ini adalah bentuk ketegaran hati Petrus di hadapan Tuhan karena ia bertekuk lutut pada cara pandang manusiawi tadi.

Representasi Petrus pada zaman now bisa dilihat tanda-tandanya dari tendensi konservatif atau progresif yang ribut dengan perkara superfisial yang bukannya mengantar orang pada relasi autentik dengan Allah, malah ujung-ujungnya perkara asesoris. Yang satu mau mempertahankan, yang lainnya mau menghapusnya, tetapi keduanya tidak menjamin orang untuk bertekuk lutut pada Allah karena mengabaikan keunikan pribadi mereka yang mencari jalan menuju Allah.

Guru dari Nazareth memanggil Petrus dengan sapaan personal: Simon, anak Yohanes. Ia seakan mengingatkan Petrus pada momen yang belum lama terjadi, ketika jelas hanya untuk mengakui pertemanannya dengan Guru dari Nazareth pun begitu berat. Bagaimana mungkin orang seperti ini akan berani mati bagi temannya?
Kemungkinan itu terwujud hanya dengan bantuan Roh Kudus. Dengan Roh Kudus, lambat laun Petrus masuk dalam dinamika sejati persahabatan dengan Allah. Ia berani mati bukan karena hitung-hitungannya mengenai agama atau kekuasaan, melainkan karena Roh Kudus memurnikan cintanya kepada Tuhan, menelanjangi aneka persyaratan yang dipegangnya secara keukeuh: dari filia menuju agape.

Tuhan, mohon Roh kesalehan yang memurnikan cinta kami pada-Mu menjadi cinta tanpa syarat, yang memerdekakan kami. Amin.


JUMAT PASKA VII
29 Mei 2020

Kis 25,13-21
Yoh 21,15-19

Posting 2019: Ketegangan Cinta
Posting 2018: HAM Teroris

Posting 2017: Jalan Peziarah

Posting 2016: Cinta Pret

Posting 2015: Makin Suci, Makin Banyak Dosa
Posting 2014: More Than Words…