Follower Ambyar

Berhubung Gereja Katolik Indonesia menetapkan bulan ini sebagai Bulan Kitab Suci Nasional, baiklah sekali-sekali saya ketik pelajaran Kitab Suci, belajar dari penulis Injil Matius, yang penulisnya dipestakan hari ini. Dulu saya mengira Injil ini adalah Injil pertama. Soalnya, ditaruh di depan, diikuti Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Yang mengira begini bukan cuma saya. Soalnya, lebih dari satu milenium memang dulu diyakini Injil Markus itu adalah versi singkat atau rangkuman Injil Matius.

Sekarang ini disepakati para ahli bahwa sumber tulisan itu justru Injil tersingkat, yaitu Markus. Matius kiranya merasa perlu menulis dengan beberapa tambahan berdasarkan konteks hidupnya sendiri sebagai orang Yahudi. Apa itu konteksnya? Penghancuran Bait Allah dan Yerusalem bikin putus asa orang-orang Yahudi. Bisa dimengerti, wong itu tempat tersakral mereka, tempat Allah yang selama sejarah mereka bersemayam, menjadi pelindung bangsa Israel dari aneka marabahaya. Kehancuran ‘tabernakel’ bangsa Yahudi ini membuat dampak emosional yang luar biasa, yang menusuk jantung religiusitas mereka sehingga mereka menjerit-jerit bagaimana hadirat Allah bisa mereka alami.

Matius menanggapi jeritan bangsanya itu kira-kira begini. Betul, Bait Allah sudah tiada lagi, kehadirannya dalam ‘tabernakel’ telah ambyar, tetapi kita punya sosok pribadi yang disebut imanuel, Allah bersama kita. Sosok pribadi inilah yang memungkinkan hadirat Tuhan tak lagi dikungkung oleh tabut perjanjian bangsa Israel dulu, yang akhirnya diletakkan di sudut ruang eksklusif Bait Allah. Karena sosok pribadi ini, hadirat Allah menjadi perkara ‘mengikuti’. Kalau ini perkara ‘mengikuti’, yang diikuti pastinya adalah sosok bergerak.

Anda bisa ketinggalan kereta atau pesawat, tetapi takkan lari stasiun atau bandara dikejar! Anda bisa mengikuti sejarah Borobudur atau kegiatan maraton Borobudur, tetapi tak bisa mengikuti Borobudurnya (apa dia mau pindah jadi Bogorbudur?). Akan tetapi, saya terus terang bertanya-tanya, berapa banyak orang yang mengikuti benda mati? Ini konyol, tetapi itulah yang terjadi, juga jika orang tak belajar dari dan dalam situasi pandemi.

Situasi pandemi, tanpa perlu membuatnya lebay, sebenarnya mengajarkan hal serupa: hadirat Allah tak bisa dikekang dalam stabilitas objek tertentu. Hal itu berlaku juga untuk sosok yang diikuti Matius, yaitu Guru dari Nazareth. Entah Anda meyakini Guru dari Nazareth ini mati atau tidak, Yesus historis sudah tiada. Akan tetapi, apakah Imanuel, yaitu ‘Allah bersama kita’ itu ambyar seperti Bait Allah dan Yerusalemnya orang-orang Yahudi jemaat Matius ini? Sama sekali tidak! Imanuel ini terus hidup dan bergerak, mencari dan memanggil siapa saja yang membutuhkan pertobatan, seperti Matius dalam bacaan hari ini.

Sebagaimana Allah Yang Mahabesar itu tak bisa dikerangkeng dalam tabut perjanjian, tabernakel, atau Bait Allah, Imanuel tak bisa dibekukan dalam sosok pribadi Yesus historis. Sambung tapi tak terkungkung. Itu mengapa pengikutnya memberi atribut Kristus, dan karena itu medium perjumpaan orang dengan Imanuel senantiasa terbuka dalam gerak. Apa yang menampung gerakan ini dalam diri orang beriman? Hatinya.
Jika hati orang tertambat pada apa saja yang contingent (yang bisa ada, bisa juga gak ada), kegembiraan hidupnya tak sambung dengan keabadian, hidup kekal, Kerajaan Allah, dan seterusnya. Hidupnya mudah ambyar seturut sifat hal atau sosok yang diikutinya. Lain halnya jika hati orang tertambat pada core of the core, ia bisa berurusan dengan yang serba ambyar dengan damai dan bahagia.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati supaya kami mampu melihat kehadiran-Mu dalam jatuh bangun hidup kami. Amin.


PESTA S. MATIUS (PENGINJIL)
(Senin Biasa XXV A/2)
21 September 2020

Ef 4,1-7.11-13
Mat 9,9-13

Posting 2019: Self-Knowledge
Posting 2018: Muda-Mudi Zaman Now

Posting 2017: dr. Gusti Allah, Sp.AS
Posting 2016: Teologi Angkat Pantat

Posting 2015: Pendosa tapi Dipanggil