Dewasa

Published by

on

Anda mungkin dengar ada pemerintah yang berjanji dalam dua minggu memberikan pekerjaan kepada ribuan karyawan yang baru saja di-PHK. Semoga Anda tidak kemakan janji itu, juga meskipun Anda bukan bagian dari karyawan yang kehilangan pekerjaan itu, karena perkaranya bagi Anda dan saya bukanlah mencari pekerjaan yang sekarang ini semakin sulit, melainkan bagaimana kita membela kewarasan berpikir. Saya bisa menambahkan poinnya, bahwa ini bukan hanya soal kewarasan berpikir, melainkan juga kedewasaan beriman.

Betapa banyak orang di sekeliling kita, mungkin kita sendiri, memelihara iman kekanak-kanakan yang hanya bisa mengandalkan rahmat murahan berbasis janji palsu mengenai mahkota: kemenangan, kejayaan, kemudahan, kekayaan, kemajuan, dan sejenisnya. Iman kekanak-kanakan ini menyimpan kepercayaan bahwa Allah sudah punya rencana terbaik bagi hidup orang kelak di kemudian hari. Habis gelap terbitlah terang, gitu kan?

Betul begitu, tetapi terang di kemudian hari itu datangnya karena ibu kita Kartini mengambil tindakan berisiko derita. Beliau tidak sedang menyodorkan ilusi mahkota masa depan baginya. Saya percaya beliau tidak pernah berpikir menjadi pahlawan seperti kemudian disematkan oleh pemerintah. Ia menggulati kegelapan itu bukan dengan iming-iming mahkota, melainkan dengan konsekuensi derita lahir batin. Bisa jadi, justru derita itu menambah makna mahkota, yang bukan lagi sebagai give away tanpa pendidikan #halah.

Teks bacaan utama hari ini menyajikan tuntutan kedewasaan beriman yang serupa: bukan give away, bukan mahkota murahan, melainkan mahkota yang dirajut dengan derita. Mahkota jenis ini tidak dapat direnda dengan janji yang menipu nurani atau memanipulasi kondisi. Itu mengapa bahkan followers ring satu Guru dari Nazareth lari tunggang langgang pada saat Guru mereka berada dalam situasi genting.
Loh, lha emang mesti ngapain, Rom? Bukankah Yesus sendiri juga sudah suruh Petrus menyarungkan pedangnya?
Ya betul, menyarungkan pedang itu kan cuma berarti minta supaya tak usah pakai pedang. Itu tidak berarti bahwa mereka mesti lari tunggang langgang.

Begitulah kira-kira kedewasaan iman dibangun, bukan dengan lari dari kenyataan dengan janji-janji, melainkan dengan aksi nurani untuk menapaki jalan-jalan terjal. Kedewasaan iman seperti ini bisa juga paralel dengan kedewasaan bangsa, yang tidak menempatkan orang-orang bersenjata di ranah hidup yang memang tidak memerlukan senjata. Begitu orang bersenjata masuk, warga kehilangan martabat dan harga diri: sipil tak becus, harus diambil alih militer. Kapan dewasanya jal sipil itu?

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk memperjuangkan martabat hidup kami di hadapan-Mu dan sesama. Amin.


KAMIS SESUDAH RABU ABU
6 Maret 2025

Ul 30,15-20
Luk 9,22-25

Posting 2024: Menang
Posting 2021: Yang Lebih Baik
Posting 2020: Jangan Takut Salib

Posting 2019: Engkaulah Satu-satunya
Posting 2018: Tiada Agama Selain Jalan

Posting 2017: Susahnya Hidup ‘Untung’

Posting 2016: Paha(la) Bidadari?

Posting 2015: Gong Xi Fa Cai

Posting 2014: Animus cujusque is est quisque

Previous Post
Next Post