Jika orang berorientasi pada legalisme, juga hidup keagamaannya hanya perkara menjauhi apa yang dilarang dan menjalankan perintah. Secara teoretis, tidak sulit menciptakan robot seperti ini, tinggal menanamkan chip seluruh do and don’t pada otaknya dan seluruh program itu akan dilaksanakan secara sempurna asalkan tidak lobet. Secara teknis, jika robot itu disebut manusia, tinggal menyediakan obat untuk memperkuat memori dan menghafalkan seluruh perintah dan larangan. Kalau untuk realisasinya ada otot-otot yang lemah ya tinggal memberi obat supaya ototnya bisa bekerja. Sayangnya, neurosains membuktikan bahwa hidup seseorang lebih dari sekadar menjalankan perintah atau menjauhi larangan.
Adalah seorang mantan marinir dan mahasiswa teknik yang, pada tanggal 1 Agustus 1966, melakukan penembakan massal dari Menara Universitas Texas, menewaskan 16 orang dan melukai banyak orang lainnya. Sebelum melakukan serangannya, dia menuliskan catatan yang mengungkapkan kebingungannya tentang pikiran dan dorongan untuk melakukan kekerasan: “Saya tidak benar-benar memahami diri saya akhir-akhir ini. Saya masuk akal dan cerdas, tetapi akhir-akhir ini (saya tidak ingat kapan mulainya), saya telah menjadi korban dari banyak pikiran yang tidak biasa dan tidak rasional.”
Setelah Whitman ditembak mati polisi, hasil otopsi menunjukkan adanya tumor yang menekan amigdala, bagian otak yang berfungsi mengatur emosi, rasa takut, dan agresi. Para ahli saraf kemudian menganalisis kasusnya dan menyimpulkan bahwa tumor tersebut sangat mungkin berkontribusi pada ledakan kekerasan yang dilakukannya dengan merusak kemampuannya untuk mengendalikan dorongan agresif.
Jika Anda punya cukup uang untuk mendeteksi adanya gangguan pada amigdala, saya tidak akan melarang Anda untuk kontrol ke rumah sakit. Jika Anda tak punya uang, seperti saya, cukuplah kita mawas diri dengan bantuan teks bacaan hari ini dan fokus pada pokok sin of omission akibat moralitas nol kita. Dalam tradisi liturgi Katolik, di awal ibadat, umat selalu diajak untuk mengaku bahwa mereka telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Kata terakhir inilah yang dimaksud sebagai sin of omission, dan kesalahan ini bisa diselisik dengan referensi pada mereka yang nasibnya tersingkirkan, teraniaya, ternista. Di hadapan jenis kesalahan ini, tidak ada orang yang bisa bertepuk dada lantaran ia sudah memenuhi prosedur pembelian tanah, sudah memberi ganti untung, sudah menaati hukum, dan seterusnya.
Apa yang Anda dan saya tidak lakukan terhadap mereka yang terabaikan oleh kekuasaan, itu juga yang tidak kita lakukan bagi Allah yang maharahim lagi penyayang. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA I
10 Maret 2025
Posting 2021: Pinjam Masker Dong
Posting 2019: Mau Kiamat?
Posting 2018: Sacred Proxy War
Posting 2017: Menghembuskan Nafas Allah
Posting 2016: Robohnya Kapel Kami
Posting 2015: Mau Jadi Kambing atawa Domba?
Posting 2014: Altar dan Pasar: Connected!
