Meskipun HAM diakui mayoritas warga dunia, paradigma mengenai hak dan kewajiban bukanlah segalanya tentang hidup. Apalagi, tanpa disadari, kebanyakan orang mengadopsi hak dan melepaskannya dari kewajiban. Sebagai anak, saya berhak mendapat sokongan dari orang tua sampai umur atau pribadi saya kurang lebih mandiri. Sebagai istri, seorang perempuan berhak mendapat nafkah lahir batin dari suaminya. Sebagai suami atau kepala keluarga, seseorang berhak mendapat respek dari anggota keluarganya. Sebagai lembaga legislatif, wakil rakyat berhak mengesahkan perubahan Undang-Undang.
Akan tetapi, cara berpikir seperti itu tampak infantil karena menempatkan hak dalam posisi superior, mengatasi aneka hal lain yang sebetulnya menjadi tandem bagi hak yang bersangkutan. Lihatlah mahmud baru yang terpaksa mengancam anaknya dengan ini itu karena sang anak protes tak diizinkan memakai hape, atau anak remaja yang menjerumuskan diri dalam dunia narkoba karena merasa tak ada permintaannya yang dituruti orang tua, atau suatu lembaga publik yang, ironisnya, minta pasukan khusus untuk menjaga kinerja mereka dari sorotan publik. Bukan apa-apa, hai kalian rakyat jelantah, kalian tidak tahu maksud baik kami; jadi, diam dan terima saja hasilnya karena kalian tidak tahu sulitnya menata negeri yang begitu luas ini!
Ya, dan kami juga tidak tahu sampai mana pemekaran provinsi di Papua dan dampaknya bagi orang Papua pedalaman; juga soal lahan begitu luas untuk food estate di sana dan dampaknya bagi orang Papua pedalaman!
Sifat kekanak-kanakan memang bukan barang eksklusif milik anak-anak. Sifat ini bisa muncul dalam diri orang uzur yang caper atau bahkan orang yang belum sampai uzur tetapi butuh panggung untuk eksis supaya seluruh pujian alam raya tertuju kepadanya. Demi tujuan itu, sikap infantil dihalalkan dan demo suara publik diabaikan, dan lagi-lagi Allah menjadi aseng. Orang tak lagi membangun relasi, tetapi pasang kuda-kuda transaksi. Dengan ilustrasi Tony de Mello, orang-orang macam ini adalah mereka yang mengklaim hak milik tanpa tandem kewajiban: “Itu mainanku, kembalikan mainanku, aku mau mainanku!”
Teks bacaan utama hari ini begitu terkenal dan biasa diberi label cerita tentang prodigal son alias anak ilang, tetapi dunia teks yang ditawarkannya jauh lebih kaya. Pada zaman now, dengan teladan para pelawak di panggung politik, bisa jadi anak-anak lebih dijerumuskan untuk cepat belajar menuntut hak sehingga kemudian jadi sulit bagi mereka untuk membangun dan mempertahankan relasi. Sebagaimana Tuhan, orang lain jadi aseng dan tak ada lagi relasi di luar transaksi.
Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk membangun relasi dalam ketulusan cinta-Mu. Amin.
HARI SABTU PRAPASKA II
22 Maret 2025
Mi 7,14-15.18-20
Luk 15,1-3.11-32
Posting 2021: Minal Minul
Posting 2020: Ampuni Corona
Posting 2019: Gusti Nyuwun Mercy
Posting 2018: Telanjangi Tuhanmu
Posting 2017: What if love ceases to be
Posting 2016: Allahnya Teroris
Posting 2015: Asal Usul Doa
Posting 2014: Why Forgive?
