Seberapa jauh orang menjadi manusia sesungguhnya bergantung pada seberapa jauh ia memahami Allah. Tapi, gimana mungkin manusia memahami Allah sepenuhnya? Augustinus sudah jauh hari mengingatkan bahwa kepala manusia takkan sanggup menampung misteri ilahi ini. Iya, berarti memang orang bahkan tak bisa memahami kemanusiaan yang sesungguhnya. Konsekuensinya, bisa jadi kemanusiaan dan keilahian itu berhimpitan tanpa harus berarti mencampuradukkannya; semakin ilahi, semakin insani, dan semakin insani, semakin ilahi. Jika tidak begitu, alternatifnya ialah menjadi hewani, juga jika berwujud robot.
Kata tetangga di Kanada, ada seorang ibu yang memohon belas kasih kepada Napoleon Bonaparte untuk membebaskan anaknya dari hukuman mati atas kesalahannya, tetapi Napoleon menjawab dengan tegas bahwa anaknya itu melakukan kesalahan besar tidak hanya kali itu, melainkan sudah untuk kesekian kalinya. Ia pantas mendapat ganjaran sesuai prinsip keadilan, bagi dirinya sendiri maupun seluruh korps Napoleon. Sang ibu menanggapi secara positif pernyataan Napoleon,”Ya, benar, dia memang tak pantas mendapatkan belas kasih. Akan tetapi, kalau ia pantas mendapatkannya, itu bukan belas kasih lagi namanya. Saya di sini memohonkan belas kasih.” Setelah itu, Napoleon memberikan putusan finalnya kepada anak sang ibu dengan frase paradoksal: unmerited pardon, the result of mercy.
Ya, pengampunan memang buah belas kasih, yang melampaui prinsip keadilan insani, dan tak seorang pun layak mendapatkannya kecuali semata karena kebaikan ilahi, yang baru terwujud dalam kebaikan insani. Tentu saja, asumsinya kebaikan insani itu sinkron dengan kebaikan ilahi.
Teks bacaan utama hari ini, sebagaimana teks bacaan sejak awal pekan ini, bukanlah teks sederhana meskipun mungkin maksudnya sederhana: menyatakan bahwa tanggapan orang-orang Yahudi (sekali lagi, tidak merujuk pada sekelompok etnis Yahudi) terhadap Yesus menentukan identitas kemanusiaan mereka apakah semakin insani atau semakin hewani. Resistensi mereka terhadap Yesus membuat mereka semakin hewani dan menghalalkan segala cara demi gelojoh mereka akan pujian manusiawi. Sebaliknya, mereka yang menerima (kesaksian) Yesus membangun identitas kemanusiaan mereka melalui cinta akan Allah. Cinta akan Allah ini tak menuntut orang memahami Allah sepenuhnya, tetapi membawanya pada pergulatan hidup yang selalu melibatkan dimensi insani dan ilahi.
Dengan demikian, berkebalikan dengan identitas orang-orang Yahudi yang dimaksud dalam teks bacaan utama hari ini, resistensi terhadap gelojoh prestasi dan pujian manusiawi secara paradoksal menunjukkan identitas mereka yang menghidupi keilahian dalam dimensi manusiawi. Resistensi terhadap gaya hidup yang mengandalkan kekuatan material semata jadi petunyuk kehidupan insani dalam keilahian. Resistensi jenis ini sangat mengganggu pecinta status quo.
Semoga Anda dan saya menerima kesaksian hidup Yesus yang bikin risih status quo. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA IV
3 April 2025
Posting 2021: Sohib
Posting 2020: Back to Nature
Posting 2019: Berhati Nyaman?
Posting 2018: Dewan Cari Hormat
Posting 2017: Learning from Others
Posting 2016: White Lie
Posting 2014: Mana Berhalamu?
